GELORA.CO - Pidato Bupati Kabupaten Boyolali, Seno Samodro yang menyerukan warganya untuk tidak memilih Calon Presiden, Prabowo Subianti pada Pilpres 2019 berbuntut panjang.
Atas pidatonya di hadapan Forum Boyolali Bermartabat itu, dia dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Seno dilaporkan oleh anggota Advokat Pendukung Prabowo, Handi Fajri dan kawan-kawan. Seno diduga melakukan pengerahan ribuan massa di Gedung Balai Sidang Mahesa beberapa waktu lalu.
"Diduga dilakukan oleh Seno Samodro dengan menyerukan agar tidak memilih Bapak Prabowo dalam Pilpres 2019 pada 4 Nopember 2018," kata Handi Fajri sesaat sebelum menyerahkan berkas pelaporan ke Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (5/11).
Tindakan tersebut dinilai melanggar UU 7/2017 tentang Pemilu yang melarang tentang pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional serta kepala desa membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa kampanye.
"Sedangkan UU ASN dari pihak kepala daerah itu masuk kategori pejabat negara. Maka bisa dikategorikan bahwa dia terpenuhi unsur Pasal 282 setelah kami kaji," jelas Handi Fajri.
Selain menguntungkan salah satu pasangan calon, pihaknya juga melaporkan Seno atas ucapan yang tidak pantas. Yang mana dalam salah satu petikan pidatonya itu, Seno menyebut Prabowo dengan sebutan binatang "...Prabowo asu...".
Dari salah satu petikan pidato itu, diduga Seno sebagai pejabat negara telah mengajak masyarakat Boyolali untuk tidak memillih Prabowo dengan cara menghina dan bernada provokatif. Adapun pernyataan tersebut katanya merugikan paslon nomor urut 02.
Atas dasar itu, pihaknya berbulat tekat melaporkan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu. Seno diduganya melanggar Pasal 282 juncto Pasal 306 juncto Pasal 547 UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Pasal tersebut sanksinya setiap pejabat negara yang membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye dipidana dengan penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta," pungkasnya. [rmol]