GELORA.CO - Lima bulan jelang gelaran puncak Pilpres 2019, politik tanah air banyak disuguhkan dengan diksi-diksi yang penuh kontroversi. Bukan hanya kubu Prabowo Subianto, Capres petahana pun beberapa kali melontarkan pernyataan kontroversi.
Situasi ini lantas memancing sejumlah komentar negatif dari publik. Pasalnya perpolitikan tanah air lebih banyak diisi oleh sensasi ketimbang subtansi adu program antar pasangan calon.
Dengan terjadinya situasi ini, kubu Jokowi dianggap yang paling dirugikan. Mengingat sang petahana justru terjebak dalam perdebatan receh. Sekaligus mematahkan citra diri yang terkenal kalem dan fokus bekerja untuk rakyat.
"Yang paling dikhawatirkan adalah Jokowi dikalahkan oleh dirinya sendiri (bunuh diri politik). Semakin banyak ngomong, semakin banyak salah, blunder dan memantik polemik," ujar Direktur Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago.
Dari hasil rangkuman JawaPos.com, berikut 4 pernyataan kontroversi Jokowi:
1. Politikus Sontoloyo
Di tengah bagi-bagi sertifikat tanah untuk rakyat di kawasan Jakarta Selatan, Jokowi menunjukkan kemarahannya atas sejumlah kritik yang diarahkan padanya terkait pencairan kebijakan dana kelurahan pada 2019 mendatang. Menurutnya, kebijakan itu untuk kepentingan rakyat, namun seolah banyak tidak didukung oleh elite politik.
Jokowi lantas mengimbau agar masyarakat tidak menelan mentah-mentah informasi yang diterima dari para politisi. Sebab, ada beragam politisi yang mampu memengaruhi masyarakat dengan tidak bertanggungjawab.
"Itulah kepandaian para politikus, memengaruhi masyarakat, hati-hati saya titip ini, hati-hati. Hati-hati banyak politikus yang baik-baik tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," ungkapnya di Lapangan Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (23/10).
Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh memandang pernyataan Jokowi tersebut tergolong wajar. Bahkan sekelas Presiden Soekarno pun pernah melontarkan hal serupa.
"Wajar sekali (pernyataan Jokowi itu, Red). Saya pikir enggak ada yang salah yah. Bung Karno juga menyebutkan istilah sontoloyo itu," ujar Paloh.
2. Politik Genderuwo
Belum juga reda dengan politikus sontoloyo, Jokowi kembali membuat sensasi. Kali ini dia menyebut bahwa ada elite politik yang berpolitik genderuwo atau menakut-nakuti rakyat.
Mantan Wali Kota Solo itu menyebut, upaya-upaya macam itu merupakan termasuk cara-cara ilegal. Biasa dilakukan oleh politikus yang pandai memengaruhi, namun abai terhadap etika politik yang baik dan sopan santun.
Coba kita lihat, politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, membuat kekhawatiran, propaganda ketakutan. Itu namanya politik genderuwo. Kalau wong (orang) Jawa genderuwo ya,” katanya di sela acara pembagian sertifikat tanah di GOR Tri Sanja, Slawi, Kabupaten Tegal, Jumat (9/11).
Sementara itu, Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01, Ma'ruf Amin memberi pembelaan terhadap pernyataan pasangannya itu. Menurutnya hal itu sebagai teguran, karena pernyataan politikus kerap kali bernada menakut-nakuti rakyat.
"Maksudnya itu kan kata Pak Jokowi di dalam membangun komunikasi politik jangan menakut-nakuti itu seperti genderuwo, ungkapannya tidak memberi optimisme," ujar Ma'ruf.
3. Salah sebut Amnesti dan Grasi untuk Baiq Nuril.
Proses hukum terhadap Baiq Nuril atas pelanggaran Undang-undang ITE berbuntut panjang. Setelah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, namun pada akhirnya justru Baiq divonis 6 bulan pidana dan denda Rp 500 juta di Mahkamah Agung.
Seruan agar Presiden memberikan amnesti atau penghapusan semua pidana seseorang. Namun, Jokowi ternyata kepleset lidah. Dia justru mengatakan akan memberikan grasi atau pengampunan hukuman bagi Baiq setelah seluruh proses yudisial ditempuh.
"Kalau sudah mengajukan grasi ke Presiden, nah nanti itu bagian saya. Semuanya ada alur dan proses yang harus diikuti. Sehingga tidak bisa mengambil kebijakan sendiri," kata Jokowi.
Dalam kasus Baiq Nuril, grasi tidak dapat diberikan. Sebab, pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi, diatur bahwa seseorang bisa mengajukan grasi jika sudah berketetapan hukum tetap. Selain itu, pidana yang dijatuhkan ke seseorang yaitu berupaka pidana mati, seumur hidup, atau minimalnya 2 tahun. Hal itu tentu tidak sesuai dengan pidana Baiq.
Hal ini lantas memancing komentar panas dari sejumlah politisi. Seperti dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon. Dia mengkritik pedas Jokowi atas kesalahan mendasar tersebut.
"Jadi menurut saya pernyataan presiden ini menimbulkan kita ya sebagai bangsa malu lah sebenarnya. Bagaimana bisa hal-hal yang sifatnya mendasar aja bisa salah," kata Fadli di Kompleks DPR RI Senayan Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Meski demikian pernyataan tersebut langsung dibantah oleh Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani. Menurutnya, Jokowi hanya salah ucap, namun subtansinya sudah benar, akan memberi bantuan untuk Baiq.
"Pak Fadli Zon itu kan inginnya Presiden itu kan seperti Pak Arsul Sani. Ngerti hukum. Ya kan enggak bisa begitu. Emang Pak Fadli Zon ngerti semua hukum? Dia ngertinya soal Rusia itu. Fire house of falsehood. Yang dilakukan Presiden, ini terlepas dari istilahnya, itu sudah benar. Gunakan dulu semua jalur yudisial," ujar Arsul di Rumah Cemara Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (21/11).
4. Akan tabok penyebar fitnah dirinya seorang PKI.
Jokowi menyampaikan kegelisahannya selama ini dituduh oleh orang tidak bertanggung jawab, merupakan keturunan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu ini selalu muncul jelang Pilpres.
Bahkan Jokowi mengaku sedih karena kabar bohong yang menyudutkan kerap beredar, misalnya di media sosial. "Saya kadang sedih kalau sudah masuk tahun politik isinya fitnah, kabar bohong, saling hujat coba dilihat di medsos," ujar Jokowi di kawasan Lampung, Jumat (23/11).
Jokowi menegaskan, sangat tidak masuk awal tudingan bahwa dirinya keturunan partai yang dinyatakan terlarang di Indonesia. PKI dibubarkan pada 12 Maret tahun 1966. Padahal saat itu dirinya baru berumur 4 tahun.
"Lha kok bisa diisiukan Presiden Jokowi aktivis PKI. Ini yang kadang-kadang, haduh mau saya tabok orangnya," selorohnya. [jpc]