GELORA.CO - Pengubahan status Jembatan Surabaya-Madura atau Suramadu dari tol ke non-tol oleh Presiden Joko Widodo jadi polemik. Kebijakan itu berimbas pada pembebasan tarif bagi pengguna Jembatan Suramadu alias gratis. Tapi beberapa pihak mencurigai ada tujuan politik di balik pengubahan status jembatan terpanjang di Indonesia tersebut.
Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat dari Gerindra, Bambang Haryo, mempertanyakan pertimbangan matang daripada pembebasan tarif Suramadu tersebut. Pemerintah terkesan tidak cermat dan terburu-buru.
"Jangan sampai ini hanya untuk kepentingan politik saja," katanya kepada wartawan di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu malam, 28 Oktober 2018.
Dia menjelaskan, setidaknya tiga hal yang perlu dicermati secara saksama oleh pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan pembebasan tarif Suramadu. Pertama, yakni menganalisis dampak secara ekonomi bagi masyarakat, terutama di Madura, dari kebijakan tersebut.
Sejak dioperasikan pada 10 Juni 2009 silam, tarif Jembatan Suramadu pernah diturunkan. Pada Maret 2016, tarif untuk jenis kendaraan golongan I adalah Rp15 ribu, sebelumnya Rp30 ribu; golongan II menjadi Rp22.500 sebelumnya Rp45 ribu; dan golongan III menjadi Rp30 ribu dari sebelumnya Rp60 ribu
Lalu golongan IV Rp37.500 dari sebelumnya Rp75 ribu; golongan V menjadi Rp45 ribu dari sebelumnya Rp90 ribu; dan golongan VI gratis dari sebelumnya Rp3 ribu. Analisis perlu, kata Bambang, sebagai dasar atau pijakan pemerintah membebaskan tarif Suramadu, apakah berdampak atau tidak secara ekonomi.
"Saya lihat pemerintah belum mengevaluasi atau menganalisa, apakah ada penurunan biaya logistik (misalnya) setelah ada penurunan biaya masuk Suramadu separuh dari tarif awal? Ini belum dilakukan satu analisa," kata Bambang.
Kedua, lanjut dia, ialah soal biaya perawatan Rp140-an miliar per tahun setelah tarif Suramadu dibebaskan. Seharusnya biaya perawatan Suramadu tidak dibebankan pada APBN. Apalagi Rancangan APBN 2019 sudah rampung dan tinggal dikedok Kamis pekan depan.
"Ini (biaya perawatan Suramadu) belum dimasukkan ke dalam rancangan anggaran. Ini harus dipikirkan," ucapnya.
Padahal, lanjut anggota Badan Anggaran DPR RI itu, perawatan Suramadu penting dilakukan secara rutin dan baik, apalagi setelah digratiskan.
"Selama setahun penggunaan Suramadu ini akan meningkat tajam, karena digratiskan. Tentu perawatannya harusnya lebih. Nah, ini (anggarannya) belum dimasukkan (di RAPBN) sangat berbahaya karena bisa tanpa perawatan sama sekali," ujarnya.
Ketiga, soal nasib kapal feri untuk penyeberangan Ujung-Kamal. Pembebasan tarif Suramadu akan semakin memperpuruk operasi kapal penyeberangan. "Padahal sebetulnya kapal fery ini masih sangat dibutuhkan untuk buffer (penyangga) apabila Suramadu terjadi kemacetan atau sebab lainnya," kata Bambang.
Diketahui, Presiden Jokowi mengubah status Jembatan Suramadu dari tol ke non-tol pada Sabtu, 27 Oktober 2018. Akibat dari perubahan status itu, pengguna Suramadu dibebaskan dari biaya masuk. Jokowi sendiri membantah kebijakan tersebut bertujuan politik, kendati mendekati Pemilihan Presiden 2019. [viva]