GELORA.CO - Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oknum dokter di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Soetomo terhadap seorang kopilot Citilink berinisial PJ (23) di Surabaya masih bergulir.
Usai pelaporan yang dilakukan pada hari Sabtu (20/10) lalu, polisi mengaku telah memeriksa 8 saksi terkait kasus tersebut.
"Sudah delapan orang yang sudah kami periksa," kata Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sudamiran saat dikonfirmasi detikcom, Senin (29/10/2018).
Ke-8 orang itu di antaranya pelapor, korban, dokter dan pihak manajemen RSUD Dr Soetomo.
Sudamiran menambahkan pihaknya memilih sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini. Bahkan mereka juga meminta bantuan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memberikan pendampingan.
"Ya kami akan berkoordinasi dengan pihak IDI," ungkap Sudamiran.
Terkait kasus ini, IDI Jatim berpendapat bahwa pasien berhak menolak mendapatkan penanganan medis. Seperti diketahui korban sempat menola untuk diambil fotonya oleh oknum, bahkan sebanyak tiga kali. Kala itu si oknum mengaku pengambilan foto dilakukan untuk kepentingan medis.
Penolakan diberikan sebanyak tiga kali. Namun oknum ini tetap memaksa untuk mengambil gambar. Hingga akhirnya korban yang dalam keadaan terluka dan tak berdaya tak bisa berbuat apa-apa saat diambil fotonya.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim, Poernomo Boedi Setiawan menyampaikan jika segala tindakan medis yang diberikan haruslah dengan persetujuan pasien, baik itu pengambilan gambar maupun tindakan operasi.
"Semua tindakan, tidak harus di foto, dioperasi juga harus dengan persetujuan pasien. Karena itu hak privasi pasien. Seberat apapun saya tidak mau disuntik atau nggak mau diapa-apakan harus dengan persetujuan pasien. Itu bisa dalam lisan maupun tertulis," kata Poernomo saat dikonfirmasi detikcom, Selasa (30/10/2018).
Poernomo menambahkan, bahkan alangkah baiknya jika dalam persetujuan penolakan untuk pemeriksaan medis itu pun ada saksi dari pihak keluarga, yang ikut menyatakan setuju atau tidak.
"Kalau ada pemeriksaan seringan apapun kepada pasien, harusnya diminta untuk melakukan tanda tangan atas keberatan terlebih dahulu. Biar tidak dianggap di bawah standar. Misal kalau untuk foto, harusnya ditanya dulu keperluannya apa. Misal untuk keperluan visum ya memang harus dilakukan foto. Karena untuk foto itu akan dijadikan untuk bukti laporan di kepolisian atau foto sebelum dan sesudah operasi," terang Poernomo.
Poernomo juga menegaskan foto-foto yang diambil untuk kepentingan medis pun tidak boleh disebar begitu saja.
"Kalau foto-foto tersebut diedarkan tidak sesuai dengan tujuan itu tidak boleh. Itu sama dengan melanggar rahasia jabatan," lanjut Poernomo.
Untuk itu, pihaknya akan berupaya membantu kepolisian dalam mengusut kasus ini, terutama melakukan pendalaman kepada oknum dokter RSUD Dr Soetomo yang diduga terlibat dalam kasus ini.
"Kita belum mendapatkan laporan. Tapi IDI intinya kita siapkan apakah ada aduan dari pasien yang menyatakan ada pelanggaran oleh dokter atau tidak," tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, PJ mengaku mengalami pelecehan seksual saat dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Soetomo usai mengalami kecelakaan pada hari Rabu (24/10) silam.
Seorang oknum memotret PJ dalam keadaan telanjang lalu menyebarkan fotonya melalui grup WhatsApp. Ironisnya, dari pengakuan korban, oknum tersebut beralasan hal itu dilakukan untuk kepentingan medis.
PJ yang saat itu dalam keadaan terluka dan tak berdaya hanya bisa pasrah ketika pelecehan terjadi. [dtk]