Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menbuat pujian semu dengan menyebut ekonomi Indonesia sangat baik dibawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, ia menyebut Indonesia tidak membutuhkan pinjaman IMF.
“Pinjaman dari IMF bukan pilihan, karena ekonomi Indonesia tidak membutuhkannya. Ekonomi Indonesia dikelola dengan sangat baik oleh Presiden Jokowi, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan rekan-rekan mereka,” ujarnya dalam keterangan resmi (9/10).
Pernyataan ini belumlah final, sebab yang perlu di ukur adalah kebijakannya bukan pernyataannya. Penegasan direktur IMF ini perlu dikonfirmasi oleh waktu. Pernyataan ini bisa berubah setiap saat, sebagaimana pernyataan Ratna Sarumpaet yang berubah dan menimbulkan hoax.
Pernyataan direktur IMF ini bisa sekedar hoax pencitraan untuk melindungi IMF dan muka rezim, ditengah kritik keras oleh banyak kalangan atas diselenggarakannya pesta mewah dan super megah agenda Anual meeting IMF – WBA di Bali, ditengah musibah yang melanda NTB, Palu dan Donggala. IMF perlu untuk membuat pernyataan yang menetralisir keadaan disaat agenda Anual meeting IMF – WB menuai banyak kecaman.
Terpisah, Bank Dunia (WB) menyatakan komitmen akan mengucurkan pinjaman bernilai US$924,6 juta atau setara Rp13,86 triliun (kurs Rp15 ribu per dolar AS) untuk program pembangunan di Indonesia. Ada enam program pembangunan yang akan dibiayai dengan utang Bank Dunia tersebut.
Pertama, peningkatan pengelolaan limbah padat di kota-kota besar di Indonesia. Untuk program ini, Bank Dunia berkomitmen memberi pembiayaan sebesar US$100 miliar atau 52 persen dari total kebutuhan proyek senilai US$192 miliar.
Kedua, program pengelolaan air limbah di perkotaan milik Kementerian PUPR. Bank Dunia akan memberi komitmen 100 persen senilai biaya yang dibutuhkan mencapai US$200 miliar.
Ketiga, program peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam belanja pendidikan. Bank Dunia memberikan komitmen 100 persen senilai US$300 miliar. Kerja sama ini diketahui diajukan oleh Kemenkeu dengan pelaksana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Keempat, Proyek Pembangunan Perkotaan Nasional (National Urban Development Project/NUDP) dengan komitmen 100 persen senilai US$49,6 miliar. Dan ;
Kelima, program penguatan kelembagaan untuk peningkatan layanan desa yang dilaksanakan Kementerian PUPR.
Tentu pinjaman utang ini akan menambah jumlah utang R.I. dan sangat membebani struktur APBN. Pada bulan Mei 2018, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada kuartal pertama tahun ini telah mencapai nilai US$387,5 Miliar atau sekitar Rp5.425 triliun (kurs Rp14 Ribu per dolar AS). Angka tersebut naik 8,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu US$330,04 miliar.
Berdasarkan data statistik ULN yang dirilis BI, kenaikan terutama terjadi pada utang pemerintah yang naik 11,6 persen menjadi US$181,14 miliar atau sekitar Rp2.535 triliun. Sementara itu, utang luar negeri swasta hanya naik 6,3 persen menjadi US$174,05 miliar atau sekitar Rp2.437 triliun.
Pada saat yang sama, Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Pada Senin (8/10) pukul 10.40 WIB, kurs rupiah spot sempat melemah 0,33 persen ke Rp 15.233 per Dolar AS. Tentu penambahan utang LN ditengah merosotnya nilai rupiah akan menambah beban anggaran negara dalam mengelola pemerintahan.
INSTRUMEN UTANG HAKEKATNYA ADALAH PENJAJAHAN
Ekonom Rizal Ramli pada era Soeharto menyampaikan pendapat menolak pinjaman IMF dalam pertemuan para ekonom di Hotel Borobudur dengan Managing Director IMF Camdesus bulan 0ct 1997, sebelum Camdesus bertemu Presiden Soeharto di Istana. Menurut Rizal, Ekonomi akan semakin rusak dibawah IMF.
Rizal menyebut IMF bukanlah Dewa Penolong, Tapi Dewa Amputasi berbiaya mahal. Keputusan untuk mengundang dan meminjam dari IMF merupakan kesalahan terbesar era Soeharto yang akhirnya membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang melumpuhkan.
Krisis besar terjadi di medio 1997/1998. Ekonomi anjlok dari rata 6% ke -13% karena saran & kebijakan IMF. BLBI disuntik $80 milyar, biaya penyelamatan bank terbesar relatif GDP, perusahaan banyak yg bangkrut, penggangguran naik 40%.
Sebab yang menjadi pangkal kerusakan ekonomi tidak terletak pada IMF nya saja, tetapi justru terletak pada utang riba yang menjadi media penjajahan di abad post imperialisme. Neo imperialisme telah mengokohkan penjajahan di antaranya melalui skema pemberian utang riba dengan ketentuan dan syarat yang sangat merugikan negara penerima pinjaman.
Karena itu, publik perlu terus waspada mengawasi kebijakan utang negara yang jor-joran di era Jokowi. Perhatian utama adalah kontrol kebijakan utangnya, bukan saja terletak pada bahaya IMF.
Christine Lagarde telah membuat pujian tipuan dengan menyatakan ekonomi Indonesia dianggap baik dan tidak membutuhkan pinjaman IMF. Namun bisa saja, dalam kesempatan terpisah rezim ini membuat kesepakatan jahat dengan menambah utang pada IMF.
Adapun komitmen ngutang kepada WB, ini sama bahayanya dengan IMF. Setiap pinjaman, pasti disertai syarat dan ketentuan yang mengikat dan menguntungkan bagi kreditur. Karena itu, publik tidak boleh lengah dan menganggap wajar negara ngutang pada WB dengan nilai hingga US$924,6 juta atau setara Rp13,86 triliun.
Rezim sakit ini telah menjadikan utang sebagai pilar kekuatan untuk menjalankan roda pemerintahan setelah target pertumbuhan ekonomi mentok diangka 5 %, disaat yang sama target pendapatan pajak negara meleset jauh. Rezim sedang melaksanakan kebijakan gali lubang dan tutup lubang.
elakanya, kebijakan rusak utang duit riba ini akan dibebankan kepada rakyat untuk membayarnya. Rakyat Kedepan akan semakin mengalami kesulitan hidup dengan berbagai tekanan dari pungutan pajak. Al hasil, publik tetap wajib terus mewaspadai kebijakan utang yang akan diambil rezim, baik melalui IMF, WB, atau lembaga riba dan rentenir lainnya. [swa]