GELORA.CO - Aksi protes terhadap Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama yang meluas ke berbagai kota di Indonesia merupakan akumulasi ekspresi kekecewaan publik terhadap sengkarut penegakkan hukum di Tanah Air.
Banser menjadi sasaran karena merupakan badan otonom dalam struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang secara struktural-organisatoris dianggap sudah menjadi bagian dari rezim penguasa, yang ditengarai publik, terutama aparat hukumnya seperti kepolisian, kurang berwawasan keadilan dan kesetaraan dalam menegakkan hukum.
Demikian disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Swing Voter (PSV) Adhie M Massardi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (30/10). Hal itu disampaikan Adhie menanggapi kian meluasnya aksi massa umat Islam memprotes Banser pasca insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid saat acara peringatan Hari Santri di Garut, Jawa Barat.
"Jadi pembakaran bendera tauhid itu hanya pemicu meluapnya kekecewaan masyarakat terhadap proses silang-sengkarutnya penegakkan hukum di negeri ini, soal rasa keadilan masyarakat," ujar Jurubicara Presiden era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Adhie melihat persamaan kasus pembakaran bendera tauhid ini dengan peristiwa penistaan ayat 51 Surat Al-Maidah oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tempo hari.
Jutaan massa di berbagai kota yang turun ke jalan kala itu, menurut Adhie bukan semata karena kemarahan kitab suci agamanya dinista. Surat Al-Maidah 51 itu hanya pemicu. Rakyat bergerak karena geram melihat arogansi Ahok dalam menghardik dan menggusur rakyat kecil, juga 'kebal hukumnya' bekas gubernur DKI itu, yang bahkan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengindahkan temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam serangkaian dugaan skandal korupsi di Balai Kota.
Itu sebabnya imbauan para ulama terkemuka untuk memaafkan Ahok, katanya, tidak digubris massa yang terus beraksi sampai hukum kemudian 'terpaksa' memvonis pasangan Joko Widodo dalam merebut tahta kekuasaan tertinggi di DKI Jakarta itu.
"Nah, kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh anggota Banser setali tiga uang. Argumentasi panjang lebar dengan mengutip berbagai hadist, juga penjelasan bahwa ada HTI di balik bendera itu, menjadi tidak penting lagi. Banser sudah dianggap kepanjangan tangan rezim penguasa karena menjadi instrumen politik NU di ranah publik. Apalagi Banser juga dianggap hadir dalam sejumlah kegiatan persekusi," tutur Adhie.
Untuk mengeliminasi dan menghentikan kasus yang kontraproduktif bagi kemaslahatan umat, Adhie menyarankan PBNU secara organisatoris mengumumkan kembali ke Khittah 1926. Artinya, sebagai ormas keagamaan, NU kembali berada di sudut netral setelah meninggalkan Khittah dan masuk ke ranah politik kekuasaan.
"Konsekuensi dari kembali ke Khittah ini, semua pejabat tinggi dalam struktur PBNU yang secara resmi menggunakan organisasi dan kantor (PB) NU untuk kepentingan politik praktis (perebutan kekuasaan), seperti diungkapkan Mahfud MD secara blak-blakan dalam acara ILC di televisi nasional, harus mundur," tambah Adhie.
Dengan begitu, katanya, di pentas politik nasional NU melenggang dengan marwah yang dominan sebagaimana saat dipimpin Gus Dur era 1984-1999.
Ketika itu, secara cerdas, konseptual, kontekstual, dan komprehensif, Gus Dur mengimplementasikan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) dari akidah keagamaan ke dalam perjuangan sosial-politik kemasyarakatan yang didasarkan atas prinsip tawasuth (moderat, di tengah), tawazun (seimbang, tidak berpihak), i'tidal(tegak lurus, obyektif), dan tasamuh (menghormati perbedaan).
"Kalau hal ini dilakukan NU, bukan hanya Banser yang akan selamat dari stigma negatif, tapi bangsa ini akan sngat beruntung karena netralitas NU dalam politik nasional akan mengurangi polarisasi secara signifikan," jawab Adhie.
Lalu bagaimana cara mengembalikan NU ke Khittah 1926?
"Di NU itu banyak kiai bijak dan cerdas, yang kalau mau bisa dengan mudah mengembalikan NU ke jalan kebenaran yang dirintis para pendirinya," pungkas Adhie Massardi.[rmol]