GELORA.CO - Ada kisah mistis yang kini jadi perbincangan warga Palu pasca gempa 28 September lalu.
Sejumlah kejadian aneh dialami warga. Terutama di titik-titik yang mengalami kerusakan parah atau banyak korban meninggal.
Sekadar diketahui, hingga 12 hari pasca gempa, masih ada ratusan bahkan mungkin ribuan warga yang masih hilang atau tertimbun tanah, reruntuhan bangunan.
Mereka sampai saat ini juga masih belum dievakuasi.
Menurut seorang warga kelurahan Buluri Kecamatan Ulujadi Kota Palu, Inton (39), dirinya dan warga lain sudah sering mengalami kejadian aneh setelah bencana dahsyat itu.
Misalnya ketika melintas di pesisir Pantai Buluri, di sepanjang Jalan Diponegoro, Kota Palu.
Ia bertutur, dirinya dan warga lainnya kerap mendengar suara-suara aneh.
Terlebih jika sudah memasuki tengah malam dimana suara-suara itu lebih sering terdengar.
“Di sini (posko pengungsi) tidak ada yang berani melintas di sepanjang pesisir pantai itu kalau sudah tengah malam,” bebernya.
Biasanya, lanjutnya, warga penghuni posko pengungsi kerap mendengar suara teriakan minta tolong.
“Soalnya kami sering mendengar ada suara perempuan atau anak kecil berteriak minta tolong,” kata Inton.
Inton menambahkan, suara-suara aneh itu makin terdengar jelas saat malam hari.
“Suara aneh itu terdengar jelas jika melintas pada malam hari, apalagi saat suasana jalan raya sepi,” katanya lagi.
Inton mengakui, dari sepanjang pesisir pantai itu, memang ditemukan banyak korban meninggal usai gempa dan tsunami.
“Tapi mungkin ada juga yang tidak ditemukan. Nah, mungkin arwah-arwah mereka itu masih gentayangan di sepanjang Jalan Diponegoro itu,” lanjut Inton.
Teriakan suara aneh serupa, lanjut pria yang memboyong seluruh keluarganya mengungsi di Lapangan Lekatu itu, pernah juga dia dengar ketika terpaksa menjarah pakaian di Hypermart Palu.
Saat itu, ia ingat betul, adalah dua hari pasca gempa dan tsunami melanda Palu.
“Waktu itu kan kami berburu pakaian karena memang hanya punya baju yang di badan saja saat mengungsi,”
“Tiba-tiba dari lantai tiga Hypermart terdengar suara perempuan minta tolong. Kami langsung berhamburan keluar mall itu,” katanya.
Mereka ketakutan karena dianggapnya di lantai tiga mall itu sudah tidak ada warga yang selamat.
“Jadi kami yakin suara itu bukan dari manusia biasa, mungkin makhluk halus,” tutur Inton.
Kendati demikian, terlepas apakah suara itu arwah para korban, masyarakat berharap kondisi kota Palu bisa segera pulih.
Harapannya, warga akhirnya bisa beraktivitas dengan normal kembali seperti sedia kala.
Untuk diketahui, sampai dengan Selasa (9/10) pukul 13.00 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat korban meningal gempa dan tsunami Sulawesi Tengah sudah mencapai 2.010 orang.
Rinciannya, 171 di Donggala, 1.601 di Palu, 222 di Sigi, 15 di Moutoung dan 1 orang di Pasang Kayu.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, korban mayoritas ditemukan di Kota Palu karena daerah tersebut banyak permukiman.
“Tsunami menyebabkan ribuan korban jiwa tertimbun dan sulit dievakuasi,” jelasnya.
Jumlah korban yang berhasil ditemukan tim SAR gabungan yang dikoordinasi Basarnas sebanyak 864 korban, terdiri atas 778 meninggal dunia dan 86 selamat.
Sedangkan yang ditemukan oleh relawan, masyarakat, dan petugas lainnya sebanyak 1.232 korban.
Sutopo menyebutkan, seluruh jenazah telah dimakamkan.
Sebarannya, yakni 934 jenazah dimakamkan masal di TPU Paboya dan TPU Pantoloan, serta 1.076 sisanya di pemakaman keluarga.
Sementara itu, masih ada 2.549 orang mengalami luka berat dan 8.130 orang luka ringan yang masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Data pengungsi kini mencapai 82.775 orang dengan rincian 74.044 jiwa mengungsi di 112 titik di Palu dan Donggala, serta 8.731 jiwa di luar Sulawesi Tengah.
“Sebaran pengungsi paling banyak adalah di wilayah Kota Palu. Sebagian masyarakat telah kembali ke rumahnya, evakuasi ke luar Kota Palu, ada yang ke Makassar, Balikpapan, Gorontalo, Manado, dan Jakarta,” katanya.
Sedangkan rumah rusak tercatat mencapai 67.310 unit, fasilitas peribadatan 99 unit dan fasilitas kesehatan 20 unit rusak.
Sementara, proses evakuasi dan pencarian korban disepakati diakhiri pada 11 Oktober 2018.
Hal itu berdasarkan hasil rapat koordinasi yang dipimpin Gubernur Sulteng Longki Djanggola dan dihadiri Komando Tugas Gabungan Terpadu, Kapolda Sulteng, BNPB, Basarnas, Bupati Sigi, Walikota Palu, OPD, Camat, Lurah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
“Mulai 11 oktober 2018 secara resmi proses evakuasi disetop,” katanya.
Penghentian pencarian korban itu, kata dia, dilakukan di tiga daerah yang dianggap paling parah kerusakannya dan paling banyak korban jiwa.
Yakni benerapa daerah di Kota Palu seperti Kelurahan Petobo, Balaroa, dan Jono Oge.
Penghentian dilakukan karena kondisi medan yang sulit. Selain itu, jenazah juga akan menimbulkan wabah penyakit saat ditemukan.
“Karena kondisinya jenazah sudah dalam kondisi melepuh, tidak dikenali, kalau ditemukan dapat menimbulkan penyakit dan sebagainya,” jelasnya.
Proses pencarian jenazah dihentikan di tengah dugaan masih ada ribuan warga yang masih hilang.
Berdasarkan laporan lisan dari Kepala Desa Balaroa maupun Petobo, setidaknya masih ada 5.000 warga yang dinyatakan hilang.
“Itu berdasarkan dugaan. Berapa aslinya kita belum dapat memastikan. Karena ada sebagian yang mengungsi, ada yang keluar Palu dan sebagainya,”
“Sehingga diduga di wilayah Balaroa dan Petobo ada 5 ribu jiwa masih belum ditemukan,” pungkasnya. [psid]