GELORA.CO - Di tengah polemik gestur satu jari Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menkeu Sri Mulyani, cawapres 01 Ma'ruf Amin membela keduanya dengan menyebut pose itu tak ubahnya gaya Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berpidato. Anggapan Ma'ruf ditepis Demokrat.
"Pak SBY tuh sering ngomong begini-begini (nunjukin gestur nunjuk) apa itu kampanye juga? Belum tentu orang begini (nujukin jari) itu kan kampanye. Kalau orang tahiyat akhir, Asyhadu alla illaha illallah, orang kan pasti nunjuknya satu," kata Ma'ruf di kediamannya, Jalan Lorong, Koja, Jakarta Utara, Sabtu (20/10/2018).
Ma'ruf merupakan anggota Wantimpres saat SBY menjabat sebagai Presiden. Namun keduanya kini berada di sisi berseberangan lantaran Demokrat mengusung pasangan nomor 02 Prabowo-Sandiaga Uno.
Kembali ke Ma'ruf, dia berpendapat, pose satu jari atau semacamnya harus dilihat konteksnya secara jelas. Mantan Wantimpres era SBY ini menyebut SBY juga sering memeragakan pose satu jari sambil mengacungkan telunjuk.
"Coba lihat Pak SBY kalau ngomong mesti begini-begini (nunjukin gestur telunjuk), kebiasaan," tutur pria yang sampai saat ini masih menjabat sebagai ketum MUI ini.
Analogi yang disampaikan Ma'ruf itu ditepis Demokrat, partai yang dipimpin SBY. Wasekjen PD Andi Arief menjelaskan SBY memang memiliki ciri khas menggunakan telunjuk saat pidato sebagai penekanan pada hal yang krusial.
"SBY memang sering terlihat menunjuk jari satu mengikuti gestur tubuh dalam berbagai pidato, terutama untuk menunjuk pada satu persoalan yang dianggap penting. Sifatnya bukan reflek, tetapi mengikuti titik tekan satu tema pembicaraan yang dianggap penting. Kemudian ini menjadi ciri khasnya," ujar Andi Arief.
Andi menegaskan pose 1 jari Luhut-Sri Mulyani beda dengan kebiasaan SBY saat berbicara. Bagi dia, Luhut dan Sri tak punya kebiasaan menunjuk-nunjuk salah satu jari dalam berpidato atau menyampaikan pendapat.
"Dalam kasus jari Luhut dan Sri Mulyani, menurut saya itu bukan kebiasaannya. Kedua menteri penting itu tidak punya gestur satu jari untuk menekankan satu persoalan. Mereka berdua sama-sama mengandalkan intonasi yang agak tinggi untuk menekankan satu tema penting," katanya.
Eks Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam era Presiden ke-6 RI SBY itu menyebut pose satu jari Luhut dan Sri Mulyani menimbulkan beragam tafsir. Meski demikian, dia meminta tendensi dua menteri itu saat berpose satu jari harus didalami terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah ada pelanggaran atau tidak.
"Jadi dalam kasus satu jari di Bali, menurut saya memang bisa ditafsirkan pada tindakan kesengajaan untuk dihubungkan dengan politik pemilu. Apalagi mikrofon terdengar oleh semua peserta. Namun apakah mereka berdua sedang bercanda atau sedang serius berkampanya, inilah titik persoalannya," tutur Andi.
Bagi Andi, Sri Mulyani tak punya maksud politik saat berpose satu jari. Namun, dia mengkritik Luhut yang disebutnya berpose menggunakan hati.
"Kalau saya sendiri menilai SMI tendensinya becanda. Tapi Pak Luhut memang dibawa perasaan untuk menolak mengikuti salam victory. Bagi Partai Demokrat, jari Luhut dan SMI bukan persoalan penting. Namun sebagai pejabat pemerintah diharapkan berhati-hati saja," ucapnya.
Hal senada sebagaimana disampaikan Andi Arief, diutarakan oleh Dahlan Pido. Nama terakhir ini adalah orang yang mengadukan Luhut dan Sri Mulyani ke Bawaslu atas anggapan keduanya melakukan tindakan kampanye.
"Kalau itu (gestur biacara SBY) kebiasaan Pak SBY, tanda keseriusan beliau dalam menyampaikan sesuatu," ujar Dahlan Pido saat dikonfirmasi.
"Tapi beda apa yang terjadi di Bali karena Bu Sri Mulyani mengoreksi Pak Luhut untuk disampaikan ke Direktur Pelaksana IMF yang bilang 'not dua, not dua', padahal awalnya biasa-biasa saja," imbuhnya.
Menurut Dahlan, insiden pose 1 jari itu menjadi tanda keberpihakan. Dia menyebut Luhut yang sempat berpose 10 jari malah jadi 1 jari.
"Pak Luhut dari 10 jari jadi satu dan Direktur Pelaksana IMF dua viktor tanda perdamaian yang menjadi ajang pose satu jari tanda keberpihakan," katanya.
[dtk]