GELORA.CO - Sebelum disahkan menjadi undang-undang, Perppu Ormas mendapat penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Tak hanya ormas Islam, tapi juga LSM yang berkecimpung dalam dunia Hak Asasi Manusia (HAM) mengecam pembentukan Perppu tersebut.
Tentu penolakan tersebut bukan tanpa dasar. Tapi karena pemerintah dinilai tidak memiliki landasan yang kuat untuk menerbitkan Perpu Ormas. Di antara yang kerap menjadi perdebatan ketika itu adalah tidak adanya kegentingan yang memaksa di Indonesia sehingga perlu diberlakukannya Perppu.
Ketika isu Perppu Ormas bergulir, ambisi pemerintah untuk meniadakan Ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945 begitu besar. Hal ini terbukti bahwa pasca disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, Badan Hukum Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut.
Padahal jika dilihat dalam pasal 59 ayat 3 UU Ormas, ternyata UU Ormas tidak hanya mengatur soal ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Tapi juga larangan Ormas untuk melakukan penodaan agama dan tindakan pidana lainnya. Pasal 59 ayat 3 berbunyi, Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, pasal 60 menyebutkan bahwa Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) (ketentuan soal larangan bagi ormas -red) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Sanksi administratif di sini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas peringatan tertulis, lalu penghentian kegiatan dan/atau, pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Peringatan tertulis hanya diberikan satu kali dalam jangka waktu tujuh hari kerja. Artinya, jika dalam jangka waktu tujuh hari surat peringatan tertulis tidak diindahkan, pemerintah dalam hal ini Kemenkumham bisa membekukan kegiatan sebuah Ormas. Apabila tetap tidak menggubris, maka ormas tersebut bisa dicabut status badan hukumnya.
Sedangkan ketentuan pindana diatur dalam Pasal 82A (1). Dalam pasal itu menerangkan bahwa setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan, dan paling lama 1 (satu) tahun.
Sedangkan dalam pasal 82A (2) disebutkan, setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal- 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat S (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Akhir-akhir ini, sedang ramai kasus pembakaran bendera tauhid oleh Ormas Banser. Jika kita lihat lebih dalam, pembakaran ini tidak mungkin tanpa kesengajaan karena dilakukan oleh beberapa orang dan disaksikan anggota Banser lain. Bahkan, dari mereka ada yang mengambil video. Kalau dengan argumen spontan, mungkin bisa diterima. Tapi, bukankah Ahok ketika menyinggung Al-Maidah 51 juga spontan?
Pembakaran tersebut jelas berimbas pada terngganggunya ketentraman dan ketertiban umum. Hal ini dibuktikan dengan adanya respon masyarakat yang tinggi terkait pembakaran tersebut. Berbagai ormas Islam di beberapa daerah menggelar aksi Bela Kalimat Tauhid, dan video kecaman berseliweran di media sosial. Oleh sebab itu, Kemenkumham setidaknya perlu memberikan surat peringatan tertulis kepada Banser.
Dan seharusnya kepolisian bisa melakukan proses hukum berdasarkan UU Ormas. Jangan sampai ada anggapan bahwa UU Ormas hanya ditujukan kepada satu ormas tertentu, galak ke satu pihak, mlempem ke pihak lainnya. Maka, kepolisian diharapkan lebih cermat menyikapi keadaan saat saat ini. Sebab, berita pembakaran sudah menjadi isu nasional.
Polisi tidak perlu menjadi ‘pengacara’ seperti ketika kasus Ahok, yang menyebutkan bahwa Ahok tidak punya niat untuk menodai agama. Dari sini penulis berpendapat bahwa jalan paling bijak adalah dengan jalur hukum. Karena jika kita lihat kerangka hukumnya, siapa subjek hukum, objek hukum, apa perbuatan hukumnya, semua sudah jelas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, berlakukah UU Ormas untuk Banser? [kiblat]