GELORA.CO - KETUA MPR Zulkifli Hasan (ZH) dan Sri Mulyani (SMI) beradu argumentasi soal utang yang membengkak. ZH geleng-geleng kepala, utang sudah hampir Rp 400 triliun yang harus dibayar tahun ini. Belum ditambah bunga, Rp 238 triliun.
Namun, SMI menyanggah dengan 7 poin dalam Facebook-nya, di antaranya tiga argumen sebagai berikut, pertama utang ini adalah warisan rezim SBY. Menurutnya, sebesar 44 persen warisan SBY.
Kedua, utang ini sebanding dengan naiknya proporsi atau rasio anggaran kesehatan terharap utang. Pada tahun 2019, anggaran kesehatan 122 T atau 4,77 kali tahun 2009,
Ketiga, utang ini masih aman di bawah 30 persen, sementara UU membolehkan utang sampai dengan 60 persen PDB.
Ada 3 hal yang perlu dicatat dari perdebatan mereka. Pertama, terungkap sebagaimana kata ketua MPR, bahwa awalnya SMI menyembunyikan info adanya utang jatuh tempo Rp 399 T dalam nota keuangan resmi.
Kedua, SMI ingin memberi kesan bahwa cicilan utang tersebut dari masa lalu. Bukankah dia menteri kepala Bappenas dan keuangan di masa itu?
Ketiga, utang itu untuk urusan rakyat kecil, yakni anggaran kesehatan. Bukan untuk infrastruktur. Jadi kalau utang tentu rakyat miskin harus ikut tanggung jawab?
Sejak polemik utang di atas, ditambah kritikan Rizal Ramli secara terus menerus kepada SMI, situasi di masyarakat juga mengalami peningkatan pembicaraan soal utang. Àpalagi dolar AS terus meroket terhadap rupiah. Sebab, utang kita, baik negara (sovereign debt) maupun swasta telah bertambah sekitar Rp 1.500 setiap utang 1 dollar dalam setahun terakhir ini. Belum lagi kepentingan praktis bagi masyarakat dan pelaku usaha yang membutuhkan dollar bagi pembayarannya.
Oleh karenanya, kita perlu memeriksa lebih dalam lagi soal utang ini terkait dengan beban pembangunan, kekerasan sosial dan penderitaan rakyat yang akan menanggungnya. Sebab, krisis 97/98 menunjukkan rakyat semua turut menanggung beban krisis ekonomi, berupa hutang Rp 600 triliun yang harus dibayar negara selama 30 tahun sejak masa itu dan adanya kerusuhan sosial. Fenomena yang sama juga kita saksikan di negara-negara barat, seperti Yunani, Italia, Islandia dan lain-lain, yang terjerat utang sejak krisis ekonomi 2008.
Infrastruktur dan Utang Kita
Suzuki, dalam "Indonesia Lives Dengerously with 355 billion Dollar Infrastructure Drive", Nikkei Asian Review, November 2017, menguraikan ambisi rezim Jokowi dalam hal infrastruktur.
Sejak awal Jokowi me-launching rencana pembangunan 1.000 km tol, lebih dari 3.000 km rel kereta api, 24 pelabuhan dan 35.000 MW power plant, selama 5 tahun kepresidenannya, dengan biaya Rp 4.800 triliun (355 billion dolar AS).
Untuk pembiayaan yang ambisius ini, pemerintah mempebesar anggaran untuk infrastruktur, khususnya dengan pengurangan dan pengalihan subsidi BBM, listrik dan gas elpiji. Pemerintah melakukan utang, menggerakkan BUMN untuk mengutang dan menjalin kerjasama pembiayaan dengan investor lokal, dan asing.
BUMN, atas beberapa alasan, seperti kerumitan birokrasi pemerintah dan lambatnya realisasi pembiayaan, akhirnya banyak mengambil alih kepemimpinan dalam mewujudkan ambisi ini. BUMN, khususnya Infrastruktur, menjadi lokomotif.
Suzuki mencatat kenaikan utang 7 BUMN, 4 di antaranya bidang infrastruktur, mencapai Rp 200 triliun pada September 2017. Sebuah kenaikan sebesar 300 persen selama 3 tahun.
Pada Januari 2018, Bloomberg dalam situsnya melaporkan hanya setengah dari rencana pembiayaan Jokowi yang mendapatkan komitmen (janji). Untuk itu, Jokowi tetap mengejar ambisinya untuk mencari 150 miliar dolar AS lagi, sampai akhir pemerintahannya.
Dalam laporan Bloomberg yang berjudul "Indonesia Needs $157 Billion for Infrastructure Plan" itu, pemerintah berharap dapat memenuhi sebesar, 15 miliar dolar AS, BUMN sebesar 44,8 miliar dolar AS dan sisanya 109,8 miliar dolar AS dari investor swasta lokal dan asing.
Namun, ambisi Jokowi ini kandas dengan meroketnya dollar terhadap rupiah. Belakangan ini Jokowi sudah sibuk dengan propaganda pembangunan sumberdaya manusia. Mulai memperbanyak subsidi kembali, baik mengadakan kembali premium bersubsidi, memperbesar dana desa, menambah dana dan cakupan bansos PKH dan BPNT, dana padat karya dll.
Meski propaganda infrastruktur telah berganti ke sumber daya manusia, sejarah mencatat utang Indonesia melonjak tajam karena infrastruktur, bukan untuk program sosial.
Menurut data statistik BI, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan II 2018 tercatat sebesar 355,7 miliar dolar AS, terdiri dari utang
pemerintah dan bank sentral sebesar 179,7 miliar dolar AS, serta utang swasta sebesar 176,0 miliar dolar AS. Penambahan utang yang diciptakan pemerintahan Jokowi ini lebih dari Rp 1.000 triliun dalam waktu 4 tahun.
Utang dan Dolar Meroket
Jokowi sudah berjanji dua kali soal dolar AS ini. Pada masa akan berkuasa, pendukung utama Jokowi menebarkan propaganda bahwa dolar akan turun dari Rp 12.000 ke Rp 10.000 per dolar AS jika Jokowi berkuasa. Kedua, Jokowi sendiri yang mengatakan bahwa rupiah akan meroket pada September 2016.
Namun, kita tahu, sampai saat ini dolar AS terus menguat, bahkan sudah mencapai angka krisis ekonomi 98, yakni 1 dolar AS sama dengan Rp 14.800.
Meroketnya dolar AS sudah pasti cepat atau lambat akan mengantarkan ekonomi kita pada krisis. Pertama, utang akan membengkak, baik pemerintah maupun swasta. Utang pemerintah ini akan memperburuk kemampuan membayar utang dan membiayai pembangunan, khususnya infrastruktur.
Kedua, beban utang swasta yang meningkat dan sikap swasta dalam merespon situasi ini dengan menurunkan aktifitas bisnisnya, akan menjadi pendorong lemahnya kemampuan pemerintah mencari pendapatan, khususnya pajak, dan menurunnya kemampuan ekonomi menciptakan lapangan kerja.
Namun, sebagaimana analisa dan pengamatan Ruchir Sharma (2016) soal utang, bahwa situasi ini seringkali disikapi terlambat, karena "credit mania" yang dipuja-puji lembaga rating dan lembaga pengutang, membuat posisi kita masuk dalam jebakan.
Jebakan itu sejatinya telah terjadi saat ini karena kemampuan membayar bunga utang kita dilakukan dengan kembali mengutang. Kedua, neraca perdagangan defisit, dan ketiga perekonomian secara keseluruhan melesu.
Kutukan Utang
Utang tentu dibutuhkan untuk pembangunan. Itu hal dasar dalam ilmu ekonomi pembangunan. Masalahnya, negara-negara berkembang sering terjebak dalam utang yang menghancurkan.
Pembangunan 32 tahun orde baru hancur seketika manakala utang membengkak mencapai 174 miliar dolar AS saat itu, pada saat krisis 97/98 utang tersebut dalam proporsi yang hampir sama jumlah utang negara dibanding swasta.
Pertumbuhan ekonomi orde baru 8 persen tahun 1996 terhempas ke-13 persen tahun 1998. Dolar AS dari Rp 2.600 per dolar AS terjun bebas ke Rp 16.000. Inflasi dari 6,5 persen menjadi 65 persen. Krisis ekonomi terjadi secara dahsyat dan berkepanjangan.
Indonesia harus masuk "rumah sakit" dengan pertolongan IMF berupa "43 miliar bailout" dan program program yang dikendalikan IMF selama bertahun tahun dengan kontrak yang dikenal sebagai "letter of intens".
Pengutang tentu saja tidak ingin mendapatkan sedikit keuntungan, selain mendikte bunga utang dan pembayaran utang, pengutang seringkali menghina bangsa Indonesia, seperti memaksa sumberdaya energi, air, hutan dan lain sebagainya, dalam perjanjian yang merugikan kita.
Selama dalam kendali IMF di atas, UU terkait tentang kekayaan negara dan investasi semuanya bersifat memiskinkan kita. Misalnya, UU Migas yang mengatur maksimal penjualan minyak ke dalam negeri hanya boleh 25 persen saja.
Tiga Cara Pandang Tentang Utang
Ada tiga cara melihat utang dalam pembangunan. Pertama, seperti pandangan SMI yang hidupnya banyak didekasikan pada IMF dan World Bank, pemberi utang. Pandangan ini melihat bahwa dengan hutanglah sebuah negara akan maju. Tiada negara bisa besar tanpa utang. Apalagi negara negara miskin, yang butuh bantuan untuk menghilangkan kemiskinan itu.
Kedua, cara pandang kedua seperti Ruchir Sharma, seorang "investment bankers" Morgan Stanley, yang namanya sangat melambung dengan bukunya "The Rise and Fall a Nation".
Ada 3 hal yang menurutnya penting dilihat soal utang. Pada bukunya itu, bab "The Kiss if Debt", pertama, dalam utang ada kepentingan pengutang dan peminjam, khususnya swasta, yang saling mendorong membengkaknya utang terus menerus. Ini yang disebutnya "credit mania". Mereka lupa diri dan lalai atas manfaat utang tersebut.
Kedua, pertumbuhan utang, khususnya swasta, terus jauh di atas pertumbuhan ekonomi (gdp). Khusus hutang swasta ini, sekali lagi, Sharma memberikan bobot yang sangat penting.
Menurut penelitian dia, siklus 5 tahun akan terjadi, di mana, situasi utang yang tidak terkendali itu setelah berturut turut 5 tahun, akan mengakibatkan krisis ekonomi.
Puncak 5 tahunan ini selalu ditandai dengan pujian-pujian majalah internasional utama, seperti Time kepada Menteri Keuangan atau presidennya, dan juga pujian-pujian perating internasional.
Sebagai catatan, Laura Alfaro (harvard University) dan beberapa akademisi dari universitas lainnya di USA dalam "Lessons Unlearned? Corporate Debt in Emerging Markets", 2017, memastikan peranan utang swasta turut serta memperburuk ekonomi negara, ketika terjadi krisis utang.
Ketiga, menurut Sharma, situasi akan memasuki Debtophobia. Utang pada masa ini sudah tidak terkendali. Kemampuan membayar utang sulit. Investor takut memberi utang baru. Ekonomi mulai terpukul. Pertumbuhan menurun.
Dia mengatakan bahwa semua orang, baik pemerintah maupun swasta, ditandai dengan ketakutan membicarakan utang. Ini yang disebutnya Debtophobia. Sebab, utang yang tadinya menunjukkan sisi baik, sekarang menjadi kutukan.
Jika sebuah rezim masih tidak sensitif terhadap situasi ini, ekonomi akan hancur.
Sementara cara pandang ketiga cara melihat utang dalam pembangunan adalah cara pandang konspirasi, seperti yang diuraikan Perkins, dalam bukunya "Confession of the Economic Hit Man".
Cara pandang Perkins, yang bukunya sempat "best sellers", menguraikan pengalamannya bekerja di berbagai negara, juga Indonesia, untuk menciptakan hutang bagi negara-negara berkembang.
Dia bekerja mendesain proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan, energi, dan lain sebagainya, untuk dijalankan pemerintah negara berkembang, sehingga perlahan-lahan negara tersebut ketergantungan dengan utang. Utang yang awalnya berbiaya murah, lama kelamaan menjerat pengutang, dan mulai dikenakan biaya tinggi.
Ketika Perkins menulis bukunya, pengutang atau kreditor masih merujuk kepada lembaga multilateral seperti IMF dan World Bank, serta negara-negara barat. Saat ini, dengan hadirnya China sebagai kreditor, teori konspirasi kembali menguat dalam tuduhan baru.
Rex Tillerson, mantan state of secretary USA era Trump, menuduh China menjebak negara-negara miskin dunia dengan utang bukan untuk keuntungan bunga, melainkan untuk mengambil alih negara tersebut.
Utang dan Kemiskinan
Sri Mulyani berusaha menampilkan wajah protogonis dari seorang neoliberal atau memanipulasi wajah jahat sosok neolib terhadap orang-orang miskin seolah menjadi pahlawan, ketika membandingkan (dalam debat dengan ketua MPR) betapa belas kasihnya pemerintah terhadap orang-orang miskin dengan menambah anggaran kesehatan dan dana desa.
Saat ini, karena menjelang pemilu, Sri Mulyani berusaha melawan prinsipnya tersebut, demi membuat rakyat berterima kasih dengan rezim Jokowi. Sebagaimana terlihat anjuran menteri sosial beberapa waktu lalu, agar rakyat memilih kembali Jokowi karena anggaran bansos naik 100 persen.
Namun, sekali lagi, tindakan rezim Jokowi kepada rakyat miskin ini akan mengalami dilema, khususnya ketika investor tidak berbaik hati. Sebagai pengutang, investor dan kreditor tentu ingin uangnya lebih utama dikembalkan ketimbang rezim Jokowi membengkakkan anggaran bantuan sosial itu.
Moody, lembaga pemberi rating, misalnya, meski menaikkan rating Indonesia pada bulan April dari Baa3 ke Baa2, namun sebulan kemudian telah memberi peringatan Indonesia sebagai negara beresiko tertinggi setelah India. Peringatan ini sebagai sinyal Moody tidak ingin kehilangan kredibilitasnya terhadap investor.
Sri Mulyani, sebagai eks petinggi IMF dan World Bank, pasti akan kembali pada preskripsi standard mereka, yakni "austerity" alias penghematan. Penghematan dalam setiap krisis artinya mengurangi biaya sosial dan memperparah nasib orang miskin.
Alhasil, dapat diperkirakan, "sogokan sosial" rejim Jokowi ini akan berumur pendek dan akan menjadi bumerang pada masa selanjutnya yang tidak terlalu lama. Jika subsidi hanya terjadi "secara kilat", lalu hilang kemudiannya, akan memicu kekecewaan massa rakyat miskin tersebut.
Revolusi Sosial
Menarik benang merah antara utang dan revolusi sosial tentu sedikit rumit untuk dimengerti. Sebenarnya, isu revolusi sosial ini adalah isu utama selama empat tahun rezim Jokowi. Sementara masalah utang yang membengkak dipacu dolar AS meroket, adalah sumbu pemicu saja.
Apakah revolusi sosial itu?
Revolusi sosial yang menjadi beberapa tema selama empat tahun belakangan ini adalah adanya tuntutan perubahan struktural dan adanya situasi ketegangan kultural dalam masyarakat. Perubahan struktural berupa adanya tuntutan "sharing of prosperity", di mana kemiskinan dan ketimpangan sosial dianggap sudah begitu besar.
Tuntutan struktural bahayanya juga berimpit pula dengan tema pribumi vs asing/aseng. Sebuah tema laten di Indonesia.
Di samping hal struktural di atas, situasi kultural berupa "divided society" (masyarakat terbelah), sudah terjadi dan terus membara selama 4 tahun ini. Sebuah kelompok selalu mengatasnamakan tema Pancasila dan Kebhinnekaan. Sedangkan kelompok lainnya mengatasnamakan pribumi dan Islam.
Situasi struktural dan kultural di atas, apabila situasi krisis yang akan datang begitu dalam, tentu dapat menjadi pemicu "sumbu pendek" adanya ledakan sosial di masyarakat. Ditambah lagi ketegangan sosial akan terus berlangsung selama menunuju pilpres 2019.
Beberapa bulan lalu, salah satu pemilik tanah perkebunan terbesar mengutus direktur perusahannya bertemu saya tentang bagaimana sutuasi nasional dan bagaimana seharusnya "sharing of prosperity" itu seharusnya. Hal ini, saat itu, dipicu "perang opini" antara Amien Rais dan LBP soal isu reformasi agraria.
Kepada utusannya tersebut, saya katakan bahwa "perdamaian" antara kaum kapitalis vs rakyat miskin harus paralel antara konsep "sharing of prosperity" dan ketulusan kaum kapitalis tersebut. Ketulusan itu artinya mau berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, seperti misalnya, antara APINDO vs Serikat Buruh di awal masa reformasi.
Tentu saja ancaman revolusi sosial ini sesuatu yang buruk buat siapapun, khususnya rakyat kecil. Untuk itu, semua "stakeholders" negara perlu berembug mencari "bantalan" agar krisis ekonomi ke depan tidak berdampak sebuah revolusi sosial.
Perjalanan politik jangan sampai disepelekan dengan ambisi ambisi kekuasaan semata, melainkan harus memikirkan kerjasama semua pihak mencari solusinya. Yakni, sensitif terhadap krisis ekonomi, memikirkan solidaritas kaya-miskin dan mengurangi ketegangan diametral. [***]
Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle [rmol]