Oleh Prof. Moeflih Hart*
Kalau kita perhatikan dan amati, KH. Ma’ruf Amin, sejak nyawapres sudah mulai luntur ciri-ciri keulamaannya:
1. Sejak bersedia jadi cawapres, beliau menurunkan marwah keulamaannya dengan menjadi wakil dari seorang yang dari usia, pengalaman, wibawa, ilmu agama, kapasitas dll jauh di bawah beliau sendiri sebagai ulama sepuh, dihormati, berwibawa yang ketua Ulama Indonesia dll. Bayangkan ketua para ulama berbagai ormas!! Yang mengkoordinir dan mengomando para ulama se Indonesia untuk membimbing pemerintah dan umat dan memberikan tuntunan dan pegangan kepada umat sebagaimana sebelumnya saat beliau masih ketua MUI. Ini posisinya terbalik, harusnya KH. Ma’ruf capres, Mas Jokowi cawapres. Itu baru bermartabat.
2. Jadi politisi tentu saja derajat dan wibawanya lebih rendah dan menurun drastis dari seorang ulama apalagi dari ketua organisasi ulama dari sebuah bangsa yang besar.
3. Kyai Maruf mulai mengatakan banyak yang dipaksakan dalam dirinya seperti akan mempromosikan dan mengembangkan Islam Nusantara. Itu bukan ucapan ulama. Ulama itu harusnya akan menjaga Islam dan ajaran Rasulullah SAW karena ulama adalah jelas-jelas gelar dan tugasnya sbg waratsatul anbiya, pelanjut perjuangan para nabi. Islam Nusantara sebagai ciri khas wilayah kebudayaan, itu urusan dunia, tak perlu diperjuangkan. Itu khazanah kebudayaan saja. Yang harus didakwahkan oleh ulama itu Islam ajaran nabi, bukan Islam karakeristik wilayah apalagi kalau karakteristik wilayah itu banyak yang tak sejalannya dengan ajaran Islam.
Akan mempromosikan Islam Nusantara kepada dunia? Ya gak akan diterima di wilayah bangsa lain karena selain karakteristik wilayahnya berbeda, juga ramah, toleran dan damai itu sudah ada dalam ajaran Islam yang ada di berbagai wilayah dan negara. Sedangkan tidak toleran dan tidak damai bukan masalah agama, yang merusaknya adalah situasi politik di wilayah masing-masing.
4. Kyai Ma’ruf juga memaksakan diri menegaskan anti khilafah demi meraih suara. Jangan-jangan itu menjual sikap anti-Islam pada pemilih sekuler untuk meraih simpati mereka. Kan bahaya ulama begitu. Gak pantas ulama anti khilafah dan syariat islam. Ulama gak pantas anti dakwah Islam untuk memajukan Islam atau menegakkan syariat-Nya. Kalaupun khilafah belum bisa diterima di Indonesia, jelaskan secara bijak kepada yang memperjuangkannya, tuntun dan tenangkan mereka, bukan memusuhi apalagi melawannya. Hargai niat tulus dan semangat keagamaan mereka. Allah itu menghargai semangat dakwah, masa ulama malah mematahkannya. Ulama harusnya tidak begitu. Ulama itu lilin dalam kegelapan yang memberikan cahaya kepada berbagai kelompok umat. Anti khilafah itu biarkan Banser, Ansor dan non Muslim saja sebagai penyeimbang wacana sehingga masyarakat bisa menilai mana yang lebih baik sikap dan ide-idenya.
5. Kyai Mar’uf juga mulai menyerang-nyerang kelompok Prabowo yang didukung oleh Ijtima Ulama dengan “mengatakan ulama pendukung Prabowo itu bukan ulama sebenarnya“. Ini kan aneh bin ironis, dan bisa jadi kejumawaan tanpa sadar. Kyai Ma’ruf mulai kotor oleh politik.
6. Sejak bersedia jadi cawapres, kyai Ma’ruf jadi nampak ambisi jabatan. “Ambisi jabatan bukan sifat dan karakter ulama” apalagi ulama senior. Bandingkan dengan UAS, ulama muda tapi sanggup menolak tawaran jabatan yang mentereng sebagai cawapres. Tak heran kalau UAS jadi ulama idola, dia istiqamah.
7. Sejak nyawapres alias terjun ke dunia politik praktis yang kotor, kalau kita ikuti *ribuan komentar2 tentang beliau di internet dan medsos dari yang masyarakat yang tak mendukung, ya ampuuun … nama Kyai Ma’ruf jadi hancuuur*. banyak celaan, pelecehan, hujatan dan hinaan yang tak pantas dilemparkan pada sosok ulama sepuh itu. Tentu saja sebagai rival politik, segala disorot. Sasaran pada usia dan fisik sudah pasti. Saya sedih sekali ulama diperlakukan begitu, tapi itu resiko yang harus diterima akibat beliau menceburkan diri. Kita gak bisa mengatur pikiran dan emosi orang. Psy-war di medsos dan perang dukungan memang dunia liar.
Saya mencintai ulama. Sayangi Kyai Ma’ruf. Selamatkan dan jaga marwahnya sebelum jauh lebih rusak dalam persaingan politik. Saya yakin dengan menjadi wapres tidak akan membuat beliau lebih baik kecuali karir dunia saja. Beliau tidak akan berperan banyak. Lihatlah usia dan fisiknya. KH. Zainuddin Mz juga pernah mengungkapkan dia tak kuat di politik padahal masih muda.
Selamatkanlah ulama yang tadinya lurus jadi kemungkinan bengkok. Satu-satunya cara: Tak memilihnya!!!
Tak memilihnya berarti menyelamatkan dan mencintainya. Wallahu a’lam. [swr]
*) Guru Besar Sejarah Peradaban Islam, UIN ‘SGD’ Bandung