GELORA.CO - Rezim penguasa hari ini memiliki pola yang mirip dengan yang terjadi pada masa Orde Baru, yakni meng-kanalisasi dan melakukan sentralisasi politik. Oleh karena itu, kaum oposisi rakyat tidak boleh mandul.
Direktur Eksekutif Atlantika Institut Nusantara Jacob Ereste menyampaikan, saat itu model pembangunan politik Orde Baru berhasil memposisikan negara terlibat dalam segala aktivitas masyarakat.
Persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, lanjut dia, dengan begitu mudahnya ditutupi atau dibuat menjadi semacam halusinasi, sehingga seolah-olah hanya keberhasilan yang terjadi.
Dalam situasi seperti ini, menurut Jacob, jika kekuatan oposisi lemah, lengah dan malah menjadi mandul, maka layak dipertanyakan.
"Meski nilai dolar sudah menyundul angka 15 ribu rupiah. Begitu juga, masalah pangan masih bisa diimpor sesuka hati oleh pemerintah. Kendati jeritan petani kita terdengar semakin menyayat hati, jika sampai hari ini belum juga muncul kelompok oposisi yang serius, boleh jadi memang situasi dan kondisi negeri kita masih aman-aman saja," tutur Jacob.
Perlu diingatkan, lanjut Jacob, konsep floating mass adalah sebagai bagian integral dari dari restrukturisasi partai-partai politik. Demikian cara rezim Orde Baru untuk menghentikan secara permanen berbagai bentuk mobilisasi massa secara terbuka. Dan sejak itu tidak lagi boleh ada aktivitas dan pergerakan yang bisa dilakukan.
“Floating mass adalah upaya mengambangkan massa pemilih agar tidak menjadi korban dari aktivitas dan kegiatan politik. Pendek kata, massa rakyat diisolasi dari aktivitas politik supaya bisa fokus pada pembangunan,” katanya.
Bahkan, saat itu, Orde Baru mengesahkan UU 3/1975 yang intinya menegaskan kepengurusan partai politik hanya boleh ada sampai pada Daerah Tingkat ll saja. “Sementara semua orang paham, semua perangkat desa terus di-Golkar-kan,” ujar Jacob.
Model pembangunan politik Orde Baru berhasil memposisikan negara terlibat dalam segala aktivitas masyarakat. Bahkan, Orde Baru pun berhasil membangun dan mengelola negara dengan cara otoritarianisme.
“Dalam versi Karl D Jackson, model perpolitikan Orde Baru istilahnya Bureaucratic Policy. Sedangkan Muchtar Mas'oed menyebutnya Negara Birokratik Otoriter Korporatis. Lebin keji lagi, Richard Robinson menyebut Orde Baru Bureaucratic Kapitalist State. Bahkan Richard Tanter dan Kenneth Young menyebut perpolitikan Indonesia ketika itu adalah Negara Militer Rentenir dan seterusnya," tuturnya.
Yang menarik, lanjut Pembina Utama Komunitas Buruh Indonesia (KBI) ini, Safrizal Rambe mencatat dalam bukunya Partai Sarikat Indonesia (2009) penataan format politik di Indonesia dilakukan dalam banyak strategi. Mulai dari penataan keanggotaan DPR dan MPR hingga pembentukan lembaga konspiratis seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin).
"Ini semua dibangun Orde Baru untuk menumpulkan potensi revolusioner yang ada dalam masyarakat," terangnya. [rmol]