GELORA.CO - Nilai Dolar Amerika Serikat (AS) masih tampak meroket di atas Rupiah hingga hari ini. Salah satu upaya untuk menguatkan Rupiah yang bisa dilakukan sebagian masyarakat adalah menukar Dolar AS ke mata uang dalam negeri.
"Kalau itu dilakukan bagus sekali, itu bagian dari nasionalisme. Saya kira gerakan ini mempengaruhi konglomerat lain bisa membuang Dolar-nya," kata Sekjen Perindo Ahmad Rofiq saat berbincang dengan detikcom, Rabu malam (6/9/2018).
Rofiq menilai, pemilik Dolar biasanya kalangan menengah ke atas. Mereka pula yang lebih terpengaruh soal tingginya harga Dolar AS.
"Kalau Perindo seruan ya, kalau Perindo sifatnya seruan untuk melakukan gerakan tersebut," ujar Rofiq.
Menurutnya, kenaikan nilai Dolar AS juga dipengaruhi kondisi ekonomi dunia. Terlebih ada perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
"Masyarakat bawah kan sampai saat ini tak ada masalah. Perindo memang juga telah memperbesar radius pemberdayaan UMKM, jadi ketahanan masyarakat kecil harus diperkuat, harus memberikan banyak masukan ke pemerintah bagaimana memberikan modal kepada masyarakat kecil," papar Rofiq yang juga merupakan Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-KH Ma'ruf Amin tersebut.
Dikonfirmasi terpisah, Sekjen PKB yang juga Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding sepakat soal aksi menukar Dolar AS. Untuk mempertahankan Rupiah memang perlu solidaritas bangsa.
"Bagus juga itu gerakan jual Dolar itu," kata Karding.
Tentu saja gerakan ini juga harus didukung oleh pemerintah dengan kebijakan guna menguatkan Rupiah. Salah satunya adalah dengan memperbesar ekspor.
"Pertama harus meningkatkan ekspor, artinya kebijakan ekspor misal proyek-proyek all item content impor ditunda dulu agar defisit kita nggak terlalu besar, jadi kira-kira pembangunan-pembangunan apapun baik infrastruktur atau proyek besar yang konten impornya tinggi ditunda dulu," tutur Karding.
Sementara itu Ketua DPP NasDem Irma Suryani menganggap pemilik Dolar AS di Indonesia hanyalah kalangan kaya. Pada praktiknya, masyarakat tetap bertransaksi dengan Rupiah.
"Rakyat kita ini belanja pakai Rupiah, bukan pakai Dolar. Selama barang dan bahan pokok tersedia dengan harga normal, kenapa ribut dengan urusan Dolar? Yang penting pertumbuhan ekonomi masih 5% dan harga-harga bahan pokok masih terkontrol oleh pemerintah," ujar Irma.
Irma lantas memaparkan perbedaan kondisi ekonomi saat ini dengan krisis moneter di era Orde Baru. Walaupun sekilas tampak nilai Dolar AS nyaris sama, tapi kenaikannya berbeda.
"Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS melemah dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 per 1 USD. Nilai ini terus memburuk. Rupiah mulai merangkak naik; Rp 5.000, Rp 7.000, Rp 11.000 dan terus melemah dalam waktu singkat. Di tahun 1998, Rupiah bahkan mencapai nilai paling buruk Rp 16.800 per 1 USD. Kamu hitung berapa persen kejatuhan Rupiah selama setahun ketika krisis moneter terjadi? 600%," papar Irma.
Soal ramai-ramai menukar Dolar AS, sebelumnya Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyampaikan, pelaku industri tekstil yang sudah berorientasi ekspor telah menukarkan dolar AS ke rupiah demi menjaga nilai tukar.
"Saya imbauannya harap ditukarkan dolar anda sebagai bentuk cinta kasih terhadap Indonesia," kata Ade.[dtk]