GELORA.CO - Krisis ekonomi ancaman nyata bagi Indonesia. Kondisi ekonomi saat ini tidak lebih baik dibandingkan 1997-1998. Bahkan sejumlah indikator utama ekonomi pada kuartal II 2018 lebih buruk ketimbang masa menjelang krisis moneter yang berujung lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
"Transaksi berjalan (current account), menunjukkan bahwa kondisi tahun 1997 masih lebih baik dari tahun 2018. Pada tahun 1997 tercatat defisit transaksi berjalan sebesar USD -4,89 miliar, atau lebih kecil dari defisit transaksi berjalan tahun 2018 sebesar USD -8 miliar," kata peneliti dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra kepada redaksi, Rabu (5/9).
Secara persentase terhadap GDP (Gross Domestic Product), ungkap Gede, defisit transaksi berjalan tahun 1997 sebesar -2,2 persen dari GDP. Lebih kecil dari tahun 2018 yang sebesar -3,04 persen dari GDP.
Indikator berikutnya, neraca perdagangan. Tahun 1997 terjadi surplus sebesar USD 410 juta. Berbanding terbalik dari tahun 2018 yang neraca perdagangan (kumulatif Januari-Juli 2018) mencatat defisit sebesar USD -3,02 miliar.
Rasio cadangan devisa dan inflasi pada tahun 1997 memang lebih buruk dari 2018. Tercatat cadangan devisa tahun 1997 hanya sebesar 2,9 bulan impor, lebih buruk dari cadangan devisa tahun 2018 yang mencapai 6,9 bulan impor.
Selain itu inflasi tahun 1997 sebesar 6,2 persen, juga lebih tinggi dari tahun 2018 yang hanya sebesar 3,2 persen.
Indikator-indikator lainnya, masih kata Gede, nyaris setara. Debt service ratio (DSR) tahun 1997 sebesar 30 persen, sedikit lebih tinggi dari tahun 2018 sebesar 26,2 persen. Rasio investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) terhadap GDP di tahun 1997 sebesar 1,48 persen, sementara tahun 2018 sebesar 1,5 persen.
"Indikator terakhir, peringkat surat utang (bond) dari lembaga internasional semacam Standard & Poor’s pada tahun 1997 dan 2018 ternyata sama-sama BBB," tukas Gede. [rmol]