Oleh: Asyari Usman*
Saya ikut mendengar pidato Yusril Ihza Mahendar (YIM) di depan Kongres Umat Islam (KUM) di Medan, awal April 2018. Tadi, saya lihat lagi rekaman pidato itu. Sungguh sangat tak bisa dipahami manuver ketum Partai Bulan Bintang (PBB) itu untuk menemui Presiden Jokowi. Tak masuk akal. Tapi, itulah kenyataannya. Akan diatur jadwal pertemuan YIM dan Jokowi.
Sebelum ini, Yusril telah bertemu dengan kubu Prabowo Subianto (PS). YIM menanyakan apa yang akan didapat PBB kalau mendukung Prabowo-Sandi. Dia menginginkan agar PBB bisa masuk lagi ke DPR dengan perolehan suara minimal 4%. Tetapi, kata berbagai laporan, Sandiaga Uno tak bisa memastikan permintaan YIM.
Di kubu Jokowi, Yusril disebut-sebut akan diterima dengan senang hati oleh Jokowi langsung. Para petinggi kubu Jokowi akan memfasilitasi pertemuan ketua PBB itu dengan Presiden. Secepatnya.
Mengingat kembali ucapan YIM di acara KUM di Medan, menurut hemat saya tidaklah pantas ketum PBB itu bertemu dengan Jokowi. Apatah lagi sampai berkoalisi dengan petahana.
Ini yang dikatakan oleh YIM merujuk ke Pak Jokowi. Menurut Yusril, tidak ada hubungan antara muka “ndeso” dengan kebijakan yang dibuatnya. Dia mengatakan, “Tampang ‘ndeso tak ndeso’ bisa saja menjadi diktator. Tampang ‘ndeso tak ndeso’ bisa saja pro-asing.”
Menurut Yusril lagi, umat Islam harus aktif berpolitik. Harus ikut pemilu supaya pada tahun 2019 nanti tidak lagi terpilih pemimpin seperti yang sekarang ini.
Di akhir paparannya YIM berkata, “Jadi harapan saya, jangan pasif, aktiflah dalam politik ini. Jangan sampai 2019 kembali pemimpin seperti ini; bikin susah kita semuanya.”
Yang dikatakan Yusril itu sangat tegas dan lugas. Tidak abu-abu. Dia tak mau Jokowi menjadi presiden dua periode.
Kalau akhirnya YIM jadi berjumpa dengan Jokowi dan masuk ke koalisi petahana, sungguh di luar akal sehat. Menelan ludah sendiri. Merusak integritas dirinya. Dia sudah jelas mencela Jokowi.
Memang politik itu dinamis. Berubah setiap saat. Namun, pandangan atau sikap yang telah matang haram hukumnya bergeser di dalam pikiran seorang tokoh Islam yang memimpin partai yang dikatakan sebagai penerus Masyumi (Majelie Syuro Muslimin Indonesia). Orang Masyumi adalah ksatria yang tidak pernah plin-plan. Sekali dikatakan, tidak akan pernah berubah.
Adalah hak Pak Yusril sepenuhnya untuk bertemu atau berkoalisi dengan Pak Jokowi. Tetapi, Pak Yusril tidak sepatunya mendahulukan kepentingan pribadi dengan berkamuflaskan kepentingan umat. Dan, bagi saya, Pak Yusril bukanlah Ruhut Sitompul atau Ali Mochtar Ngabalin yang bisa dengan mudah lompat sana lompat sini.
Satu hal, Pak Yusril jangan sampai berpikir bahwa manuver Anda mendekati Pak Jokowi akan mengurangi semangat juang rakyat yang mendukung penuh Pak PS. Malahan, tekad bulat jutaan pejuang Prabowo akan semakin keras lagi untuk mengantarkan beliau ke kursi presiden.
Sebab, rakyat semakin paham bahwa kebanyakan elit politik tidak bisa dijadikan teman seperjuangan. Mereka semakin paham makna perjuangan dan siapa-siapa yang tulus memperjuangkan masa depan umat. [swa]
*) Penulis adalah wartawan senior