GELORA.CO - Gerakan mahasiswa saat ini mulai marak dan menjalar ke seluruh pelosok negeri. Berteriak menuntut perbaikan kondisi ekonomi bangsa, bahkan Jokowi mundur.
"Fenomena ini menarik, meskipun-tahun tahun sebelumnya ada juga gerakan mahasiswa, namun tidak sebesar dan seradikal yang saat ini ada," kata Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan
"Mengapa ada gerakan mahasiswa? Bagaimana kita memahami fenomena ini? Tentu banyak sebab yang dapat kita selidiki, tapi dua hal sebagai berikut penting diperhitungakan," tutur Syahganda.
Pertama, asumsi bahwa kesadaran politik mahasiswa yang hilang selama ini muncul kembali. Kemunculan ini disebabkan faktor kesejarahan yang menempatkan mahasiswa kita sebagai "avant garde" dalam mendorong kebangkitan bangsa.
Kedua, dapat juga ditelisik kepada kepentingan kolektif mahasiswa uti sendiri, dengan melihat adanya kegagalan universitas dan dunia kerja memberikan kesesuaian antara apa yang diimpikan mahasiswa setelah lulus dengan fakta lapangan kerja yang ada.
"Kedua hal di atas, sebagai sebab ataupun motivasi terjadinya gerakan mahasiswa belakangan ini adalah sesuatu yang sah,” ujar Syahganda.
Dalam kesadaran kesejarahannya, lanjut dia, mahasiswa di negara-negara berkembang umumnya mengambil peran sebagai pahlawan dalam menuntut keadilan.
"Sebenarnya ini bukan hanya terbatas pada negara berkembang saja, jika melihat peran mahasiswa di Amerika semasa perang Vietnam tahun 60-70-an dengan gerakan Occupy (Wallstreet lalu Campus) beberapa tahun lalu," paparnya.
Kedua peristiwa berbeda zaman itu melahirkan kesadaran perjuangan mahasiswa menegakkan keadilan.
Di Hongkong juga, beberapa tahun lalu, gerakan mahasiswa menentang pemerintah pusat RRC atas sikap otoriter dalam menentukan kepemimpinan Hongkong, menyebabkan gerakan mahasiswa menguasai Hongkong dalam waktu yang lama.
Di eropa, dalam kaitan dengan krisis ekonomi dan isu "immigrant", mahasiswa juga banyak melakukan protes sosial.
"Jadi, sesungguhnya gerakan mahasiswa tersebut tidak bisa punah atau usang. Sepanjang adanya ketidakadilan atau persoalan sosial yang nyata, mereka pasti akan hadir kembali. Apalagi jika dikaitkan hancurnya institusi politik kita, yang korup dan jahat saat ini," ujar Syahganda.
Dia mengatakan, kegelisahan mahasiswa jika dikaitkan dengan masa depan mereka yang semakin buruk, bisa juga menjadi bersifat komplementer atas eksistensi kesadaran politik mereka.
Tahun ini, merujuk data BPS, terjadi peningkatan sarjana menganggur. Tahun 2018, sekitar 8 persen atau 660 ribu dari 7 juta sarjana menganggur karena tidak dapat diserap lapangan kerja yang layak.
"Banyak sarjana diberitakan bekerja sebagai buruh Gojek. Sesuatu yang memilukan bagi masa depan yang dibayangkan mahasiswa," ujarnya.
Hal ini tentu dipersepsikan mahasiwa sebagai kegagalan pemerintah menciptakan pilihan pembangunan yang menyerap pencari kerja. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sendiri tahun lalu merilis hanya mampu menyerap 500 ribu tenaga kerja formal. Jauh di bawah angka 2,5 juta pencari kerja baru. Dan sarjana umumnya berekspektasi akan menjadi pekerja formal dan pekerja tetap.
"Kesadaran politik mahasiswa yang bercampur dengan kegelisahan akan masa depan tentu keduanya mendorong fenomena gerakan mahasiswa ini. Jika keduanya berhimpit atau menjadi sumber kesadaran pada saat bersamaan, maka militansi mereka semakin besar," ujar Syahganda.
Namun, faktor kerisauan masa depan tersebut tidak menggugurkan idealisme mahasiswa sebagai pejuang kebangsaan, sesuai takdir sejarahnya.
Pada banyak sejarah, lanjut Syahganda, mahasiswa juga turut melakukan revolusi sosial. Mahasiswa adalah mahluk dengan "banyak nyawa" dalam konteks keberaniannya. Sebagai sosok jiwa muda, mereka memang menikmati militansi dan radikalis gerakan.
“Adalah salah besar memikirkan mereka menjadi takut ketika darah darah mereka bercucuran di jalan. Darah darah mereka itulah sumber inspirasi perjuangan mereka menggelembung menjadi besar. Berbeda dengan kriminal ataupun teroris, mahasiswa meyakini takdir mereka secara politik untuk perbaikan bangsa,” imbuhnya.
Persoalannya adalah, pertama, apakah membungkam gerakam mahasiswa ini memang diperlukan dalam sebuah demokrasi. Menurut Syahganda, yang perlu dilakukan adalah dialog yang saling menghargai antara rezim dengan para mahasiswa tersebut.
"Agar demokrasi tetap dalam koridor yang kita kelola,” ujarnya.
Kedua, bagaimana agar ekskalasi gerakan mahasiswa tidak mengganggu suasana pemilu? Tanpa membatasi hak-hak mereka menyatakan pendapat?
“Ini adalah ujian serius bagi rezim Jokowi, mengkanalisasi tuntutan mahasiswa tersebut, baik tadi dengan memperbanyak dialog sosial, maupun memeriksa kesesuaian target universitas dengan lapangan kerja ke depan," tuturnya.
Apabila ini tidak berhasil, maka ekskalasi gerakan mahasiwa bisa mengarah ke revolusi sosial. Kenapa? Karena suasana Pemilu saat ini berada pada ketegangan sosial yang tinggi.
Jika gerakan mahasiswa tidak dapat dikanalisasi, maka ketegangan di masyarakat dapat berhimpit dengan ekskalasi gerakan mahasiswa tersebut pada tema tema revolusioner yang dibawa mahasiswa.
"Jangan pernah melupakan hak kesejarahan mereka. Biasanya jika gerakan mahasiswa marak, kita harus intropeksi ada sumbatan dalam demokrasi yang ada. Tugas kita untuk mengkanalisasi peran besar kesejarahan mahasiswa ini untuk tetap eksis, sebagai kekuatan moral (moral force) yang mengingatkan kita semua untuk mengarahkan kembali kiblat bangsa," terangnya.
Namun, dalam suasan pemilu yang memiliki ketegangan sendiri, kita perlu men "detach" gerakan mahasiwa hingga berjalan dalam koridor yang tidak mengganggu suasana Pemilu.[rmol]