GELORA.CO - Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean angkat bicara soal gerakan #2019GantiPresiden.
Melalui kicauan Twitternya, Minggu (2/9/2018) Ferdinand mengaku menerima jika ada seorang politisi yang beranggapan bahwa gerakan #2019GantiPresiden adalah gerakan makar.
Karena menurut Ferdinand, politik adalah persepsi."Politik itu persepsi, maka bagi saya jika politisi yang membangun persepsi gerakan #2019GantiPresiden itu makar, saya masih bisa terima," kicau Ferdinand.
Namun, Ferdinand tidak sepakat apabila seorang doktor hukum atau intelektual mengatakan gerakan #2019GantiPresiden adalah melanggar hukum tanpa mampu menunjukkan bukti atau Undang-Undang yang dilanggar.
"Tapi ketika seorang doktor hukum atau intelektual bilang itu gerakan melanggar hukum tanpa mampu tunjukkan Undang-Undang mana yang dilanggar, maka dia cuma sekelas buzzer,"imbuh Ferdinand.
Hingga berita ini diterbitkan tidak diketahui siapa doktor hukum dan intelektual yang dimaksud oleh Ferdinand.
Ali Ngabalin: Gerakan #2019GantiPresiden adalah Makar
Sebelumnya, Staff Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin menilai, gerakan #2019GantiPresiden merupakan gerakan makar yang harus dihentikan.
"Makar itu, makar, harus dihentikan seluruh aktivitasnya, harus diback-up," ujar Ali Mochtar Ngabalin saat dihubungi di Jakarta, Senin (27/8/2018).
Menurut Ali Mochtar Ngabalin, #2019GantiPresiden memiliki arti pada 1 Januari 2019, maka Presiden Indonesia yang saat ini dijabat Joko Widodo, harus diganti.
"Artinya itu tindakan makar, dengan begitu sementara yang kita tahu dalam regulasi, 17 April Pemilu presiden yang baru. Karena itu, seluruh aktivitas dan deklarasi yang terkait pergantian presiden harus dihentikan, karena itu gerakan gerombolan pengacau keamanan negara," papar Ali Mochtar Ngabalin.
Terkait kebebasan berpendapat, kata Ali Mochtar Ngabalin, semua negara demokrasi di dunia memiliki aturan yang tidak boleh dilakukan semena-mena, sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998.
"Ada syarat untuk kepentingan persatuan dan kesatuan, menghargai pendapat orang lain, tidak mengacau keamanan, lihat di pasal 16 dan pasal 15 sanksinya," tuturnya.
"UU KUHP mereka melawan polisi, sementara polisi adalah representasi hukum, sebabnya polisi yang membubarkan harus diberikan penghargaan, karena tidak boleh dibiarkan. Aksi ini kan ada yang pro dan kontra akan ganggu keamanan, kalau dibiarkan jadi konflik horizontal," beber Ali Mochtar Ngabalin.
Agar tidak diartikan gerakan makar, Ali Mochtar Ngabalin pun menyampaikan #2019GantiPresiden harus diubah menjadi #17April2019Ganti Presiden.
"Kalau 2019 itu makar," tegasnya.
Penolakan gerakan #2019GantiPresiden
Diketahui sebelumnya, beberapa aktivis gerakan #2019GantiPresiden mendapat penghadangan dari massa saat akan melakukan deklarasi di beberapa daerah di Indonesia.
Kondisi tersebut memaksa aparat kepolisian terjun dan menenangkan dua kubu yang bertentangan.
Lebih lanjut, pihak kepolisian mengatakan jika gerakan #2019GantiPresiden adalah ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Terkait, apakah gerakan tersebut merupakan pelanggaran atau tidak, Bawaslu yang bisa memberi keputusan.
Pihaknya hanya bertugas untuk mengamankan kegiatan tersebut.
"Hashtag itu ranah bawaslu apakah itu merupakan pelanggaran kampanye tanyanya ke Bawaslu," kata Kabareskrim Polri, Irjen Pol Arief Sulistyanto di kantor Bareskrim Siber, Jatibaru, Jakarta Pusat, Selasa (28/8/2018).
"Kapasitas polri adalah mencegah jangan sampai terjadi bentrokan dan jangan chaos," tegas Arief.
Menurut Arief, segala laporan yang berkaitan dengan pelanggaran Pemilu sebaiknya dilaporkan ke Sentra Gakkumdu.
Nantinya segala bentuk laporan bakal dikaji lebih dahulu di Sentra Gakkumdu.
"Laporan semua terkait pemilu akan ditampung di Sentra Gakkumdu. Polisi tidak bisa langsung melakukan penyidikan semua dikaji dulu di Sentra Gakkumdu," ujar Arief.
Tanggapan Bawaslu
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward, mengatakan pihaknya tidak dapat melakukan penindakan terhadap peserta gerakan #2019GantiPresiden ataupun #2019TetapJokowi.
Alasannya, pada saat ini pasangan calon presiden dan calon wakil presiden belum ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, saat ini belum masuk ke dalam tahapan kampanye di Pemilu 2019.
"Tidak menjadi ranah Bawaslu. Belum masuk kewenangan Bawaslu, karena capres-cawapres belum ada," ujar Fritz, ditemui di kantor Bawaslu, Senin (27/8/2018).
Menurutnya, gerakan #2019GantiPresiden ataupun #2019TetapJokowi merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.
Namun, dia meminta, dalam penyampaian pendapat harus patuh terhadap ketentuan peraturan dan peraturan perundang berlaku.
"Apabila ada intimidasi, persekusi, silakan kepada pihak kepolisian," katanya.[tribun]