GELORA.CO - Kenaikan anggaran bantuan sosial (bansos) hingga Rp 381 triliun dalam Rancangan APBN 2019 menimbulkan beberapa spekulasi..
Pemerintah beranggapan dengan dana bansos yang besar akan menekan angka kemiskinan. Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS) yang menempatkan jika pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan hingga 9,82 persen, sehingga kenaikan dana bansos dianggap tepat untuk mengatasi kemiskinan.
"Namun permasalahan paling mendasar dari kemiskinan adalah faktor ekonomi. Pada kenyataannya pemerintah selalu gagal mewujudkan target ekonomi sebagaimana janji kampanye di tahun 2014 yang lalu," jelas pengamat politik Jajat Nurjaman kepada wartawan, Senin (20/8).
Kedua, kenaikan jumlah dana bansos hingga 31,9 persen dibandingkan tahun 2018 yang hanya Rp 287 triliun, sebab tahun 2019 adalah tahun politik. Sebagai calon petahana memanfaatkan dana bansos untuk pencitraan sebagaimana yang diungkapkan Mensos Idrus Marham tentang pahala yang dianalogikan dengan memilih kembali Jokowi sebagai bentuk kepanikan pemerintah.
"Seharusnya dengan menunjukkan hasil kinerjanya selama berkuasa sudah dapat dijadikan argumen untuk menarik simpati masyarakat," ujar Jajat.
Dia menambahkan, meski pemerintah terus meningkakan dana bansos tidak akan bernilai lebih di mata masyarakat. Pasalnya, kinerja pemerintah lah yang menjadi patokan, terutama soal kondisi harga-harga bahan pokok, pencabutan subsidi dan lainnya.
Jika mengandalkan dana subsidi untuk menarik simpati masyarakat adalah keliru. Rakyat sudah pandai dalam menilai, termasuk asal-usul dana bansos tersebut.
"Di tahun politik 2019, kenaikan dana bansos perlu dicermati oleh penyelenggara pemilu terutama KPU dan Bawaslu. Tanpa ada pengawasan ketat permasalahan yang ditimbulkan adalah bukan hanya tepat sasaran atau tidak, namun dugaan penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan kampanye juga harus di waspadai," tutup Jajat yang juga direktur eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID). [rmol]