GELORA.CO - Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos memaklumi keputusan Joko Widodo memilih Ma'ruf Amin sebagai pendamping di Pemilu Presiden 2019. Meski begitu, dia tetap merasa perlu mengkritik sang petahana akan bahayanya keputusan strategis tersebut.
Dikatakannya, sosok Ma’ruf yang merupakan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan rais aam Nahdlatul Ulama dapat diartikan sebagai kontrastrategi untuk melawan kelompok-kelompok oposan.
"Namun demikian, kita harus mengingatkan Presiden bahwa strategi politik elektoral harus diletakkan jauh di bawah politik kebangsaan dan politik negara yang menjamin kesetaraan hak bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas keagamaan,” kata Bonar dalam keterangan persnya, Senin (13/8).
Rekam jejak Ma’ruf Amin selama ini, terutama sebagai pimpinan MUI, cenderung konservatif. Ma’ruf menjadi beban dalam pemenuhan kebebasan beragama berkeyakinan sebagai hak dasar yang dijamin UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan pemajuan toleransi pada umumnya.
Setara mencatat Ma’ruf sebagai aktor kunci beberapa fatwa MUI yang mendorong meluasnya intoleransi, dan memberikan energi bagi pelanggaran hak-hak konstitusional minoritas oleh kelompok-kelompok intoleran dan vigilante.
Antara lain, fatwa tentang tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama (2005), fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah (2008), juga fatwa tentang muatan penistaan Alqur’an dan ulama dalam pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (2016).
Beberapa fatwa MUI juga mendorong perluasan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan (vulnerable groups), seperti perempuan dan LGBT.
Selain itu, banyak pandangan MUI dan Ma’ruf Amin yang menunjukkan konservatisme dan menghalangi pemajuan dan pemenuhan hak konstitusional kelompok minoritas, seperti penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pasca keluarnya Putusan MK 97/PUU-XIV/2016 pada 7 November 2017.[jpnn]