Oleh: Ady Amar*
Tidak tahu persis siapa sebenarnya aktor di balik pilihan Prabowo Subianto pada Sandiaga Salahuddin Uno sebagai cawapresnya. Ada yang mengatakan saran itu dari Anies Baswedan. Jika itu benar, maka tentu Anies yang bekerja bersama Sandi, sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, punya hitungan-hitungannya sendiri.
Anies persis tahu, kerja Sandi sebagai wakil gubernurnya adalah kerja serius dengan parameter-parameter terukur. Sehingga kerja Sandi melapangkan janji-janji kampanye, yang dibuat bersama-sama, dapat dipenuhi sesuai dengan target pencapaian yang terukur pula. Tidak sekadar janji kampanye yang diberikan 'menyala-nyala', tetapi implementasi dari janji itu setelah terpilih nol besar alias janji tinggal janji.
Sebagai pengusaha papan atas yang berhasil, Sandi memiliki terobosan-terobosan ide brilian untuk mencapai hal yang tidak biasa. Ide DP nol persen untuk mereka yang belum memiliki tempat tinggal permanen, awalnya disambut nyinyir di sana sini, itu hal yang tidak masuk akal dan bla bla bla.
Intinya, itu hal mustahil bisa diwujudkan. Sekadar janji kampanye yang tidak mungkin bisa direalisir. OK Oce pun jadi sindiran nyinyir dari kelompok seberang dalam pilihan politik dalam Pilgub DKI yang lalu, mereka yang biasa disebut sebagai Ahoker (pendukung Basuki Tjahaja Purnama/Ahok).
Tidak kalah penting adalah Sandi itu anak muda yang sehat jasmani maupun rohaninya. Olahraga menjadi menu kesehariannya. Di televisi acap kita lihat dia dengan masih berpakaian olahraga, ketimbang pakaian resmi sebagai pejabat.
Rohaninya senantiasa disiram aktivitas keagamaan yang teramat cukup untuk ukurannya yang super sibuk. Puasa sunnah Senin dan Kamis, shalat Dhuha yang tidak pernah ditinggalkan sejak remajanya, serta aktif dalam kegiatan keagamaan lainnya. Karenanya, dia layak disebut sehat jasmani dan rohani.
Sandi, jika bicara, wajahnya senantiasa tersenyum pada lawan bicaranya, mendengarkan lawan bicara dengan sabar, lalu menjawabnya dengan santun sambil wajah dan mulutnya tetap tersenyum. Sepertinya tidak tampak lelah di wajahnya meladeni lawan bicaranya, khususnya awak media.
Tidak kalah penting adalah, Sandi itu tampan wajahnya untuk ukuran pejabat publik di negeri ini, yang biasanya buncit perutnya, rambut tidak tersisir rapi dan jalannya sudah terbungkuk-bungkuk. Bukan karena ketuaan, tetapi karena jauh dari sehat jasmani. Ketampanan Sandi itu menyihir lawan jenisnya, meski dia sudah dikaruniai tiga anak yang lucu-lucu.
Sandi jadi sihir tidak saja kaum milenial tapi juga emak-emak muda dan tua, dan bahkan bapak-bapak sekalipun. Sandi bisa dilihat dari angle berbeda: cerdas, tampan, santun dan tajir. Paket komplit, melihat satu wajah dengan berbagai 'atribut' nyaris sempurna.
Sandi Effect Lebih dari SBY Effect
Di tahun 2004, konon kemenangan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono itu didulang dari emak-emak, yang kesengsem dengan ketampanannya. Gagah bak Patih Gajah Mada. Kaum emak lebih memilihnya ketimbang memilih Ibu Megawati yang sebagai pejawat saat itu. Itulah pilihan rasional kaum emak yang memilih lelaki tampan daripada menjatuhkan pilihan pada jenis kelamin yang sama dengannya.
Itulah SBY Effect di 2004, dan lagi pada 2009, saat dia tampil sebagai petahana, yang tidak memiliki lawan sepadan ketampanannya. Dan, menang menjadi presiden Indonesia untuk lima tahun berikutnya.
Setelah itu Pak Jokowi muncul sebagai presiden berikutnya, sebagai antitesa dari semua itu. Wajah biasa-biasa saja, jika bicara tersendat-sendat, badan kurus dengan pakaian sederhana, mampu menyihir para pemilih untuk memilihnya.
Saat ini Jokowi sebagai pejawat, tampil sebagai capres dengan menggandeng ulama besar, Ketua Syuriah NU dan Ketua MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin. Pilihan yang tidak salah, pilihan tepat untuk menjaring suara umat Islam, khususnya kaum Nahdliyin yang begitu besar.
Pejawat akan melawan tidak saja Prabowo Subianto sebagai capres, tetapi tidak kalah beratnya melawan Sandiaga sebagai cawapres dari Prabowo. Bisa jadi mengalahkan Prabowo tidak lebih sulit dari mengalahkan Sandiaga.
Bahkan analisa menyebut dengan sesumbar demikian, lupakan Jokowi, lupakan Prabowo, dan pilih Sandiaga. Sesumbar yang berlebihan, tapi tidak mustahil di 2019 Sandi Effect akan melebihi SBY Effect, akan jadi realita pemimpin masa depan di republik ini. Bandulnya akan berputar sebagaimana pilpres 2004, di mana SBY berhasil memulainya.
Magnet pendulang suara itu ada pada Sandi untuk menarik pemilih milenial dan emak-emak rasional, yang pasti akan memilih 'suami' tampan, saleh dan tajir. Head to head Jokowi versus Sandi.
*Pemerhati Sosial Keagamaan