GELORA.CO - Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI), Panji Nugraha mengatakan, anjloknya nilai tukar rupiah ke level Rp 14.800 per dolar AS adalah catatan terburuk pengelolaan ekonomi sepanjang orde reformasi.
Menurut Panji, pemerintah semestinya mampu memberikan solusi jitu agar dapat menekan dolar AS agar tidak perkasa, salah satunya memperbanyak kuota ekspor.
"Akan tetapi sangat disayangkan pemerintah tidak mampu merespon gejala pelemahan rupiah yang kian kritis dengan membuak impor 2 juta ton beras dan gula dengan target 3, 6 juta ton di saat stok beras dan gula masih surplus di dalam negeri," terangnya, Jumat (31/8).
Panji menjelaskan, anjloknya rupiah bukan hanya dimaknai sebagai ekses dari perang dagang AS dan China saja. Pelemahan rupiah perlu dikaji bukan hanya dari faktor eksternal tetapi faktor internal khususnya soal perdagangan.
"Untuk mengangkat rupiah agar perkasa fundamental ekonomi Indonesia perlu diperbaiki khususnya soal pengelolaan ekspor impor, tetapi persoalan tersebut seolah dihiraukan, Menteri Perdagangan era Presiden Jokowi malah membuka keran impor yang justru akan membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk," tutur Panji.
Dia heran dengan pemerintah saat ini, saat Ditjen Perdagangan Luar Negeri ingin membatasi impor tetapi Kementerian Perdagangan sendiri mengeluarkan kebijakan impor beras dan gula.
"Seharusnya melihat kondisi ekonomi makro Indonesia yang tidak tentu arahnya Jokowi mampu memanajemen para menteri-menteri dan pejabatnya agar tidak jalan sendiri-sendiri," terang Panji.
Pasalnya, kebijakan yang inkonsistensi jelas akan dicatat sebagai kebijakan negatif oleh pasar yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan stagnan atau jalan di tempat di angka 4 persen - 5 persen.
"Artinya jika tidak ada pertumbuhan ekonomi yang baik, investor pun akan enggan untuk investasi di Indonesia," demikian Panji. [rmol]