Politisi Gerindra ini Bicara Perbedaan Deklarasi Prabowo-Sandi dan Jokowi-MA

Politisi Gerindra ini Bicara Perbedaan Deklarasi Prabowo-Sandi dan Jokowi-MA

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wakil ketua DPD Gerindra DKI Achmad Sulhy mengenang masa-masa menegangkan dalam proses penentuan Sandiaga Uno sebagai Cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Sulhy menyebut, proses penentuan Cawapres pendamping Prabowo berlangsung cukup menegangkan mulai Rabu (8/8/2018) malam. 

Saat itu daftar kandidat Cawapres yang beredar di sekitar kediaman Prabowo, Kertanegara, hingga pukul 22.00 WIB, masih dua nama. 

Menurut dia, dua nama tersebut terus dikonsultasikan ke semua Parpol koalisi Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Hingga kemudian diputuskan bersama nama Sandiaga Uno menjadi pendamping Prabowo untuk Pilpres 2019.

"Pelajaran yang bisa kita petik dari Pak Prabowo adalah kesetiaan kepada kawan. PKS dan PAN adalah kawan setia Gerindra. Meskipun sempat ada godaan Pak Prabowo tak goyah," kata Sulhy kepada TeropongSenayan, Jakrata, Sabtu (11/8/2018).

"Sebagai prajurit (militer), kesetiaan kepada kawan adalah hal yg sangat penting. Karena bagi seorang prajurit pengkhianatan kepada kawan ketika berjuang adalah dosa terbesar," jelas Sulhy.

Aktivis HMI ini selanjutnya, juga menyoroti bagaimana koalisi di kubu Jokowi memperlakukan seniornya, Mahfud MD. 

Dia tak terima dengan cara koalisi petahana mempermainkan seorang tokoh bangsa sekaliber Mahfud MD. 

Menurut Sulhy, sebagai mantan pejabat tinggi Negara, Mahfud sama sekali tak pantas diperlakukan seperti itu. 

Selain Mantan Ketua MK, Mahfud juga beberapa kali menjadi menteri, bahkan saat ini menjadi pejabat dan penasehat di lembaga Pancasila yang didirikan oleh Jokowi sendiri, BPIP. 

"Di-PHP tingkat tinggi, sudah diminta kirim CV dan siapkan baju. Selanjutnya diminta ngukur kemeja putih, serta disiap-siap di dekat tempat deklarasi. Tapi akhirnya tidak jadi," sesal Sulhy.

Sulhy mengaku kecewa seniornya yang juga mantan Ketua Presedium KAHMI Nasional itu diperlakukan.

"Di sisi lain, kita melihat kedewasaan ustadz Abdul Somad yang usianya relatif muda, mengalahkan nafsu jabatan kyai tua. Ustadz Abdul Somad lebih paham soal kondisi umat dan tidak mau umat makin terpecah karena politik," jelas Sulhy. 

"Tapi kyai tua malah bersedia. Semoga dipilihnya beliau (kyai Ma'ruf Amin) oleh Jokowi bukan untuk dijadikan bumper. Saya tidak rela jika beliau digandeng hanya untuk sebagai pagar betis pertahanan koalisi Jokowi yang trauma dengan kekalahan Ahok di Pilkada DKI 2017 lalu," tegas Sulhy. 

Lebih jauh, Sulhy menilai, kecerdasan dan cara pandang yang jauh oleh Ustadz Abdul Somad dibaca betul oleh koalisi Prabowo yang sadar betul kalau menjadikan ulama sebagai Cawapres, maka umat akan larut dalam konflik.

"Artinya, dalam hal ini Pak Prabowo berusaha untuk menjauhkan umat dari konflik perang tafsir antar ulama. Sementara kubu Jokowi hendak memakai simbol PBNU dan MUI untuk melegitimasi dan meraih kemenangan," jelas Sulhy.

Namun demikian, Sulhy menambahkan, dari segi nuansa deklarasi, koalisi Prabowo lebih banyak memperlihatkan suasana Islami.

"Pak Prabowo mengatakan akan mendaftar selepas sholat Jum'at bersama. Sedangkan kubu sebelah daftar dulu, baru sholat," sindir dia.

"Ustadz Salim juga, setelah deklarasi Prabowo-Sandiaga langsung menutupnya dengan khidmat lewat do'a-do'a yang diamini oleh semua Parpol koalisi. Ditutup dengan lantunan shalawat di tempat deklarasi," urai Sulhy.

"Bandingkan dengan yang tersaji di deklarasi kubu Jokowi hanya sekedar menyebut nama dan menyanjung KH. Ma'ruf Amin. Setelah itu foto bersama dan selesai. Tak ada sedikitpun nuansa agamis kecuali ucapan bismillah dan asssalamu'alaikum," ujarnya.

"Tak ada doa bersama, tak ada kumandang shalawat. Selepas konferensi pers, semuanya selesai dan pergi. Mari kita membaca ini dengan hati dan pikiran yang jernih. Allah ora sare," tutup Sulhy. [tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita