Oleh: Pradipa Yoedhanegara*
Meski Pilpres baru akan berlangsung pada 19 April 2019, namun atmosfer politik dan hiruk pikuk yang terjadi didalam negeri saat ini tidak bisa dilepaskan dari sosok seorang ulama kharismatik yang kini hijrah ke tanah suci, dan begitu banyak memiliki pengikut yaitu Habib Riziek Shihab.
Sosok fenomenal yang menjadi magnet politik ditanah air pasca aksi monumental 411 dan 212 ini, menjadi figur yang sangat di perhitungkan dalam pilpres 2019 yang akan datang oleh banyak politisi di tanah air, meski keberadaannya di arab saudi.
Pasca kekalahan Ahok pada pilgub di ibukota, sosok HRS menjadi yang paling di perhitungkan oleh elit politik yang kini berkuasa di negeri ini, maupun oleh kelompok oposisi. Pasca kekalahan ahok di pilkada dki, HRS dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kekalahan Ahok tersebut, kemudian setelah itu banyak muncul dramatikal hukum untuk menghancurkan nama besar HRS di tanah air.
HRS sebagai ulama kharismatik, tampaknya sama sekali tidak begitu tertarik untuk berpolitik praktis atau pun mengejar jabatan politik di negeri ini. Meski banyak pihak yang ingin menarik HRS dan FPI keranah politik, tapi sepertinya HRS dengan FPInya sangat konsisten berjuang dalam dakwah dan kepentingan umat.
Bagi sebagian elit politik di pemerintahan saat ini, langkah HRS selalu dianggap melakukan kegiatan politik yang dibungkus dengan menggunakan isyu agama. Padahal kalau kita cermati dengan akal sehat dan logika orang waras apa yang dilakukan oleh HRS hanyalah untuk mencari keadilan bagi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh ahok yang kala itu menjadi pejabat di pemprov dki jakarta.
Berawal dari GNPF Ulama 212 dibawah arahan HRS yang memprakarsai diagendakannya Ijtima Ulama GNPF yang menghasilkan suatu usulan kepada partai politik diluar pemerintahan (oposisi) nama Capres Prabowo Subiyanto dan dua orang nama Cawapres yaitu Ustad Abdul Somad dan Habib Salim Segaf Al Jufri.
Forum Ijtima Ulama GNPF tersebut yang di prakarsai dan di gagas oleh HRS dianggap oleh pemerintah sebagai sebuah manuver politik HRS, karena menghasilkan nama Capres dan Cawapres yang akan di dukung dalam kontestasi politik 2019 mendatang.
Boleh jadi itu merupakan sebuah manuver politik, tapi lebih kepada manuver politik cerdas dari para ulama yang selama kepemimpinan rezim saat ini menjadi kelompok yang paling di marginalkan. Apalagi HRS dan kelompok ulama yang tidak mendukung rezim, seperti dianggap musuh dan di cap sebagai kelompok radikal.
Namun pasca Ijtima Ulama, terkuak sudah siapa sebenarnya yang sering memainkan Politik Identitas?? Karena Ijtima yang di Gagas HRS melalui GNPF tidak mengintervensi kebijakan Parpol atau pun Capres yang telah di usung dalam ijtima ulama dengan memaksakan wapres harus dipilih dari hasil ijtima ulama tsb, sehingga HRS dan Forum Ijtima Ulama tersebut tidak terkesan mengintervensi dan memainkan politik identitas untuk mengejar syahwat berkuasa.
Justru dalang, sekaligus sutradara yang memainkan politik identitas untuk mengejar hasrat dan syahwat berkuasa bukanlah HRS dan GNPF Ulama. HRS dan GNPF Ulama tetap konsisten tidak menggunakan isyu agama ataupun kendaraan ormas keagamaan untuk mencari kekuasaan ataupun meminta di dukung parpol agar punya kekuasaan politik di negeri ini.
HRS dengan FPI’nya dan GNPF ulama justru bukanlah ancaman bagi negeri ini, karena publik di era revolusi digital sudah semakin cerdas untuk mengetahui, mana ulama yang bisa di jadikan panutan dan mana ulama atau ormas yang mengejar jabatan politik dengan mengatasnamakan politik identitas.
Pasca diumumkannya rematch kedua kandidat Capres dan Cawapres 2019, kedua kandidat berharap bisa berkoalisi dan mendapat restu dari HRS yang selama empat tahun kepemimpinan rezim ini di anggap sebagai ulama radikal. Padahal restu dan koalisi HRS sudah diberikan pada Prabowo Subiyanto.
Pihak sebelah pun mencoba mengambil hati umat dengan mencoba menemui HRS ditanah suci dan meloby GNPF, tapi umat sebagai pemilih sudah semakin sangat tercerdaskan dan tidak akan memilih rezim ini kembali dalam pemilu mendatang. Akibat luka yang sudah menganga dan begitu dalam yang telah dibuat oleh rezim, dan para pendukungnya yang hanya bisa melakukan pencitraan dan kebohongan publik.
Dulu, rezim yang katanya tidak memerlukan suara umat islam, kini menjelang 2019 mulai ketar ketir dan baru akan mulai mendekat dengan penuh kepura-puraan kepada umat. Umat Islam sebagai pemilih terbesar bersama komando HRS dan GNPF ulama, mungkin saja sudah memafkan apa yang pernah rezim ini lakukan terhadap para ulama mereka, tapi Umat dan HRS serta GNPF ulama tidak akan pernah melupakan penistaan rezim terhadap para ulama selama kepemimpinan rezim ini.
“Memafkan Tanpa Harus Melupakan”, semua prilaku elit politik di era kepemimpinan Jokowi yang banyak melakukan anekdot politik serta membuat kebijakan konyol adalah kata kunci yang di pegang umat yang cerdas dalam berfikir dibawah komando kepemimpinan HRS dan GNPF Ulamanya. Umat islam yang cerdas karena majunya IPTEK akan menenggelamkan parpol yang berafiliasi dengan rezim penguasa.
Suka atau tidak suka, pada akhirnya HRS yang dulu begitu dibenci oleh rezim dan pendukung rezim, kini berbalik menjadi alat pikat dan memiliki daya tarik tersendiri bagi rezim dan pengikutnya. Disini secara pribadi dan dengan jujur saya ungkapkan HRS dengan daya tariknya telah menjelma sebagai pemenang pilpres 2019-2024 karena telah memenangkan hati jutaan rakyat indonesia akibat kezhaliman penguasa.
Sebagai pesan penutup, untuk itu Pilpres 2019 mendatang umat islam janganlah ada yang Golput, mari kita tetap Gelorakan semangat pergantian rezim secara konstitusional pada pilpres 2019 mendatang dengan memilih pemimpin yang dipilih oleh para ulama, bukan memilih ulama yang dipilih oleh pemimpin.
Merdeka! [swa]
*Penulis adalah Pengamat masalah Politik dan Sosial