Mendikbud: Karnaval Siswa TK Bercadar Tidak Terkait Radikalisme, TK-nya Binaan Kodim

Mendikbud: Karnaval Siswa TK Bercadar Tidak Terkait Radikalisme, TK-nya Binaan Kodim

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Karnaval murid Taman Kanak-kanak (TK) bercadar, membawa replika senjata api, di Probolinggo, Jawa Timur viral di media sosial. Beberapa organisasi kepemudaan seperti GMNI, IPNU, GP Ansor dan Gusdurian Probolinggo memprotes karnaval itu.

Lantas bagaimana tangga­pan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait hal ini? Berikut penuturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.

Tanggapan Anda atas keja­dian di Probolinggo tersebut?

Saya kemarin ke Probolinggo karena kemarin ada di sana ka­sus, baru datang kemarin malam, jadi saya kecapean. Saya cek langsung karena penasaran ada masalah kasus karnaval, dan ten­tu tidak seperti gegap gempinta di media sosial. Karena kasus­nya benar-benar sangat simple. Tidak gawat seperti yang sudah dikomentari banyak pihak.

Jadi satu sisi ada paradoks, sementara di sisi lain ada anak yang menunjukkan jiwa patriotisme. Kemudian ada pihak yang seolah-olah ada jalan yang beda. Nah, dalam rangka itu kemudian dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan yang tidak baik untuk politik. Jadi saya langsung ke Probolinggo ketemu dengan Kapolresnya, Pak Dandim, dan kebetulan TK-nya itu di bawah binaan Kodim. Untung saja begitu, kalau di bawah binaan yang lain bisa jadi ribut. Kemudian ketemu dengan kepala sekolahnya, ulama, dan sebetulnya tidak seseru yang dilihat. Jadi ada dua hal kebetulan beda tapi bisa kami atasi.

Memang bagaimana ceritan­ya bisa kejadian seperti itu?

Sekolahnya memang untuk karnaval 18 Agustus, sudah jadi tradisi dilakukan di Probolinggo. Dan memang biasanya mereka temanya banyak yang mengusung tema keagamaan, karena masyarakat sana dikenal sangat agamis. Kemudian dari pihak sekolah Persit, karena biayanya sudah sangat banyak, mengingat ada beberapa even yang harus dibiayai, maka wali murid dan komite sekolah sepakat, bahwa properti yang dimiliki dan telah digunakan tahun lalu untuk parade drum band sekolah itu, digunakan kembali untuk acara tersebut.

Parade drum band tahun lalu itu kebetulan temanya mirip dengan yang diusung sekarang. Jadi pertimbangannya praktis aja. Dari pembicaraan dengan kepsek yang saya tangkap itu maksud temanya perjuangan umat Islam dalam ikut merebut kemerdekaan. Makanya kostum­nya dipadukan dengan bendera merah putih di depan, kemudian diikuti ka’bah, lalu ada kostum yang menggambarkan raja sal­man dan istri, di mana di bela­kang ada pengawal raja.

Kalau seperti itu kenapa kemudian sampai ada yang pakai cadar?

Jadi di belakang raja tadi kan ada pengawalnya. Nah, pengawalnya itu yang jadi masalah. Karena murid tk-nya kan ke­banyakan perempuan. Makanya mereka bingung pengawalnya perempuan pakaiannya apa. Kemudian muncul ide pakai cadar ini. Ide itu sebetulnya sangat spontan, dan tidak ada maksud apa-apa.

Kemarin saya tanya dinas kebudayaan di sana yang hadir, apakah itu menimbulkan kere­sahan. Kata mereka tidak ada sama sekali. Justru mereka kaget kenapa menimbul keresahan di luar sana. Jadi terlalu jauh sebetulnya kalau kita sampai interpretasikan ke menanamkan radikalisme. Karena memang sama sekali tidak ada kaitannya dengan itu.

Betul-betul tidak ada niat menyebarkan radikalisme?

Saya kunjungan ke sana seko­lahnya bagus kok. Kan di bawah binaan Kodim, makanya nasionalismenya sangat kental di sana. Cuma kemarin peserta didiknya hanya ada 55 orang, padahal fasilitasnya bagus. Oleh karena itu saya mengusulkan untuk merekrut anak yang tidak mampu di sekitar. Tarik mereka masuk untuk dijadikan peserta didik di sekolah itu. Saya beri bantuan agar bisa tarik paling tidak 100 siswa.

Soal Joni, anak yang me­manjat tiang bendera dalam upacara 17 Agustus itu apakah Kemendikbud memberi atensi khusus?

Saya sangat mengapresiasi tindakan nekat Joni. Nekat da­lam arti yang positif. Secara simbolik itu kan bentuk patrio­tisme zaman now. Karena ketika waktu bendera mau dikibarkan bermasalah kemudian harus diambil alih. Secara simbolik itu maknanya hampir sama dengan ketika ada peristiwa 10 November, ketika ada anak muda yang inisiatif manjat bendera merah putih biru kemudian dia sobek birunya.

Jadi dikibarkan merah putih­nya. Mirip itu dengan seting peristiwa yang berbeda. Kalau dulu dalam upaya merebut ke­merdekaan, mempertahankan merah putih waktu itu. Kalau ini mengibarkan kembali merah putih menjadi bendera lambang negara yang besar. Itu yang pertama.

Kedua, saya berharap ini juga bisa menjadi contoh pendidikan karakter yang berhasil di seko­lah. Karena ada lima pendidikan karakter yang kami tekankan. Pertama relijiusitas. Relijiusitas ini lebih ditekankan kepada aspek cara-cara beragama yang benar, termasuk toleransi antar sesama agama. Kemudian juga menghargai keyakinan masing-masing, dan juga bisa rukun membangun suasana yang salingmemahami. Itu yang paling dite­kankan di sana.

Kemudian nasionalisme patri­otisme. Lalu integritas terutama ditekankan pada aspek kejujuran di mana sekarang di Indonesia ini kejujuran itu barang yang sangat mahal. Kemudian kemandirian. Dan terakhir gotong royong. Sekolah-sekolah dengan program PPK itu kami harapkan suasana kehidupannya sehari-hari diwar­nai dengan lima nilai itu.

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan. Terima kasih saya kepada Joni yang telah bisa menjadi semacam role model anak Indonesia, menunjukan nasion­alisme zaman now. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita