GELORA.CO - Tersangka kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Sjamsul Nursalim yang juga mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsjad Temenggung, kembali menyebut nama Megawati Soekarnoputri dalam persidangan.
Syafruddin mengaku saat itu Presiden Megawati Soekarnoputri sempat memanggilnya untuk diberi tugas khusus. Apakah serta merta posisi Presiden Republik Indonesia ke-5 itu bisa dikaitkan dengan penerbitan SKL?
Seperti diketahui, Megawati pernah menerbitkan Inpres Nomor 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
“Sebenarnya pada waktu kami diminta jadi Ketua BPPN, kami tanya pada Ibu Presiden,” kata Syafruddin memberikan keterangan disidang lanjutan perkara korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu.
Saat ditunjuk menjadi Ketua BPPN, Syafrudin mengaku saat itu masih menjabat Duta Besar World Trade Organization (WTO). Syafruddin awalnya sempat menolak jabatan tersebut, namun setelah mengetahui yang menunjuk adalah Megawati, ia menerima posisi tersebut.
“Dia (Dorodjatun) bilang ‘you saya minta jadi Ketua BPPN’, tapi saya menolak. Lalu dipanggil presiden, saya diputuskan jadi Ketua BPPN. Saya terdiam, saya tanya siapa atasan saya, dikatakan saya melalui KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan),” demikian Syafruddin.
Syafruddin mengaku meminta KKSK membuat dasar kebijakan BPPN. Dorodjatun yang saat itu menjabat sebagai Ketua KKSK menurut Syafruddin kemudian menyiapkan seluruh kebijakan untuk BPPN.
“Waktu itu Pak Djatun bilang ‘oke akan kita siapkan’,” ujar Syafruddin.
Selaku mantan Ketua BPPN, Syafruddin didakwa merugikan negara Rp4,58 triliun terkait BLBI. Kerugian negara itu berkaitan dengan penerbitan SKL dari BPPN terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim.
Sebelumnya, Rachmawati Soekarnoputri gencar meminta KPK untuk memeriksa kakaknya Megawati Soekarnoputri yang dianggap bertanggung jawab penuh dalam kasus BLBI tersebut.
“Menurut saya Syafruddin harus diperiksa, tapi siapa yang menerbitkan kebijakan Inpres Nomor 8/2002, itu pada waktu Presiden Megawati. Itu saudara saya. Tapi ini soal keadilan, kebenaran. Inpres itu kebijakan,” katanya di dalam acara dialog kebangsaan yang diselenggarakan Generasi Cinta Negeri (Gentari), Jumat (20/4) yang lalu.
Persoalan SKL BLBI Sjamsul Nursalim masih meninggalkan jejak hukum yang pekat. Terutama persoalan misrepresentasi utang petambak udang yang dijamin oleh perusahaan Sjamsul Nursalim, membuat posisi Syafruddin dan Dorodjatun.
Fenomena ini terungkap dari beberapa kali persidangan di Pengadilan Tipikor. Tentu saja siapa berperan apa, serta bagaimana proses pemberian SKL itu terjadi, termasuk bagaimana mungkin SKL bisa diberikan sementara masih ada utang Sjamsul Nursalim yang belum lunas.
Seperti diungkap mantan Direktur Hukum BPPN, Robertus Bilitea yang menjelaskan bahwa Sjamsul telah melakukan misrepresentasi (membuat seolah-olah utang petambak sebagai piutang yang lancar) saat menampilkan piutang BDNI kepada petambak.
Menurut Robert, Sjamsul tak mengungkap bahwa utang petambak kepada PT Bank Dagang Nasional Indonesia Tbk (BDNI) sebesar Rp4,8 triliun sebenarnya dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandiri (WM), perusahaan yang juga miliknya.
“Yang tertuang di laporan tim bantuan hukum, memang tidak diungkap bahwa fakta material bahwa PT DCD sebagai penjamin kewajiban utang petambak pada BDNI,” ujarnya.
Dari temuan tersebut, Robert mengungkapkan, pihaknya pernah memberitahu bos PT Gajah Tunggal Tbk itu soal misrepresentasi lewat surat yang dikirim oleh Kepala BPPN Glen Yusuf ketika itu. Namun, Sjamsul tetap tidak mengakui hal itu sebagai misrepresentasi.
“Sjamsul mengatakan bahwa dia tidak mengungkapkan penjaminan itu karena piutang itu dikualifikasi sebagai utang kredit usaha kecil, jadi tidak perlu diungkap,” demikian Robert.
Dalam perkara ini, mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung didakwa bersama-sama dengan Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kunjorojakti yang juga selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim, merugikan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Syafruddin diduga telah memperkaya Sjamsul, selaku pemegang saham pengendali BDNI sebesar Rp4,58 triliun. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT DCD dan PT WM. Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Dalam situasi yang dianggap belum lunas, Syafruddin dianggap telah melawan hukum karena menerbitkan SKL atas Sjamsul Nursalim.
Disinilah terjadi perdebatan hukum yang ketat, apakah penerbitan SKL itu tanggung jawabnya dilokalisir di level Syafruddin? Syafruddin dan Dorodjatun? Atau Syafruddin, Dorodjatun dan Megawati?
Proses persidangannya masih berlanjut, diperkirakan Syafruddin yang akan dikorbankan dalam kasus ini. Karena Presiden Megawati ketika itu hanya menerbitkan Inpres yang bersifat umum dan berlaku untuk semua debitor BLBI. Sementara untuk individual debitor BLBI tanggung jawabnya ada pada Kepala BPPN.
Tentu saja Syafruddin diperkirakan akan melawan dan berusaha menentang argumentasi tersebut. Sebab kalau dia sampai divonis bersalah, maka dirinya menganggap Dorodjatun dan Megawati pun harus dinyatakan bersalah.
Begitu pula sebaliknya, jika Dorodjatun dan Megawati tidak dianggap bersalah, maka Syafruddin pun merasa berhak untuk bebas karena itu adalah kebijakan yang diambil pemerintah atas situasi krisis.
Mari kita serahkan kepada hakim yang diharapkan dapat mengambil keputusannya dengan adil. [swa]