GELORA.CO - Pengamat politik Djayadi Hanan berpendapat potensi pendukung bakal calon presiden Joko Widodo untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pilpres 2019 cukup tinggi, pascakeputusan Jokowi memilih Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presidenya.
"Kalau dilihat secara kualitatif dari reaksi dan sentimen publik hari ini seperti di media sosial, maka potensi tersebut cukup tinggi," kata Djayadi saat dihubungi Tempo, Ahad, 13 Agustus 2018.
CEO Riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) itu berpendapat potensi golput tersebut dipicu oleh kekecewaan terhadap keputusan Jokowi. Menurut dia, mulai dari proses Jokowi memutuskan Ma'ruf hingga figur yang dipilih, Jokowi terkesan dikontrol oleh partai.
Menurut Djayadi, proses Jokowi dalam memilih Ma'ruf di pengujung waktu sebelum pendaftaran itu janggal dan terkesan Jokowi dikontrol oleh partai koalisi dalam memutuskan cawapresnya. Padahal, kata dia, Jokowi sebelumnya digadang-gadang dan terkesan sudah mengambil keputusan untuk berpasangan dengan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.
Namun kata dia, hanya dalam suatu pertemuan yang sekejap dengan partai pendukung Jokowi memutuskan dengan Ma'ruf Amin. Djayadi menilai perlakuan Jokowi tersebut membuat para pendukungnya kecewa yang terlanjur berharap dengan Mahfud MD. "Ini kan seperti PHP," ujarnya.
Sebelum pengumuman cawapres pada Kamis sore, 9 Agustus 2018, nama Mahfud MD kuat beredar sebagai cawapres Jokowi. Jokowi juga sempat menyebut nama cawapresnya berinisial M. Mahfud juga diketahui sudah mengurus surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana untuk keperluan pencalonan sebagai pejabat negara di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Selain itu, menurut Djayadi, faktor kekecewaan pendukung Jokowi karena figur yang dipilih adalah Ma'ruf. Ketua Majelis Ulama Indonesia itu dipandang tidak memiliki kompetensi dan kinerja di pemerintahan yang cukup tinggi dibandingkan sejumlah nama yang masuk dalam bursa cawapres Jokowi.
Idealnya, kata Djayadi, wapres bagi Jokowi adalah figur yang mampu berkontribusi dalam transisi pemerintahan Indonesia ke depan. Menurut dia, tantangan Indonesia ke depan cukup besar sehingga posisi wapres sangat strategis dalam membantu presiden.
Djayadi mengatakan selain itu, ada kelompok pluralisme dan toleransi yang mayoritas mendukung Jokowi akan kecewa karena berseberangan dengan Ma'ruf. "Kelompok ini akan kebingungan dan tidak punya pilihan karena akan sulit juga jika menyebrang ke kubu Prabowo," ujarnya.
Menurut Djayadi, hal ini juga akan berdampak kepada antusiasme pendukung Jokowi, baik dalam menggunakan hak pilih atau bergerak untuk mendulang dukungan untuk kandidat Jokowi-Ma'ruf.
Meski potensi tersebut masih bersifat kualitatif, kata Djayadi, hal ini sudah menjadi warning negatif bagi Jokowi. Jokowi pun seharusnya mampu memberikan kejelasan kepada pendukungnya agar tetap menggunakan hak pilih. [tempo]