GELORA.CO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 2018 yang diteken pada 18 Juli 2018 lalu.
Dengan PP tersebut, setiap kepala daerah yang maju sebagai capres, harus meminta izin lebih dulu kepada presiden.
Banyak kalangan menilai, PP tersebut sengaja dibuat untuk menghadang laju Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang disebut-sebut bakal ikut maju sebagai capres di Pilpres 2019.
Koordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska) Adri Zulpianto mengatakan, PP 32/2018 itu melenceng dari bab II pasal 3 UU 42/2008 tentang Pilpres.
Yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pilpres dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Ia lantas membandingkan saat Jokowi maju capres pada Pilpres 2014 lalu.
Ketika itu, Jokowi yang masih menjabat sebagai gubernur DKI bebas melenggang ke Istana hanya dengan menunggu izin dari Megawati selaku ketua umum partai pengusung, tidak sampai menunggu restu presiden kala itu SBY.
“Bahkan SBY bersama jajaran pemerintahannya pun tidak mempersulit langkahnya untuk menjadi sebagai capres,” tutur Adri Zulpianto.
Kejanggalan lain adalah putusan MK tahun 2014 atas gugatan terhadap UU yang diajukan oleh aliansi Effendi Ghazali setahun setelah pengajuannya.
Tapi keputusan tersebut baru dapat dilaksanakan pada tahun 2019 dengan alasan bahwa pemilu sudah terjadwalkan.
Padahal, lanjutnya, keputusan itu pun baru dibacakan pada awal tahun 2014 sedangkan pemilu dilaksanakan pada tangaal 9 Juli 2014.
Sedangkan PP 23/2018 baru diteken kurang dari sebulan dari jadwal pemilu yang sudah ditetapkan.
“Kami dari Alaska menilai bahwa PP tersebut diteken Jokowi sebagai langkah reaktif terhadap isu pencalonan Anies Baswedan yang belakangan namanya santer diusung oleh partai yang berlawanan dengan kubu Jokowi,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga menilai bahwa PP tersebut merupakan bentuk neo otoriter dan neo diktator ala rezim yang sedang berkuasa.
“Rezim Jokowi ingin membentuk rezim demokrasi kekuasaan, bukan menjalankan sistem demokrasi terpimpin,” terang Adri Zulpianto.
Pada Pasal 7 dalam UU 42/2008 menyatakan, bahwa kepala daerah yang maju mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden harus melalui izin presiden.
Tapi dalam peraturan tersebut tidak ditentukan lamanya waktu seperti dalam peraturan pemerintah yang diteken Jokowi pada 18 Juli 2018.
“Yaitu dalam batas waktu selama 15 hari,” sambungnya.
Selain itu, Alaska menilai bahwa PP tersebut bertentangan dengan UU Pemilu.
Bahwa seseorang ditetapkan sebagai capres dan cawapres adalah setelah seseorang tersebut melampirkan berkas persyaratan ke KPU.
Barulah setelah berkas tersebut terverifikasi dinyatakan sebagai capres maupun cawapres, bukan setelah minta izin kepada presiden.
“Oleh karena itu, kami menilai PP tersebut hanya membuat gaduh suasana di masa politik, dan membuat pemilu menjadi tidak berkualitas karena sarat dengan kepentingan kekuasaan,”
“Bukan bertujuan untuk membangun negeri yang sehat dengan mengajarkan anak bangsa dengan logika hukum yang sehat,” tutup Adri Zulpianto.[psid]