GELORA.CO - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan kerihatinan mendalam atas kasus cedera berat yang dialami siswi SMA di Mojekerto, Mas Hanum Dwi Aprilia (17).
Hanum menderita gejala lumpuh setelah menjalani hukuman squat jump lantaran terlambat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) di sekolahnya.
Mirisnya, kasus ini terjadi hanya beberapa hari sebelum peringatan Hari Anak Nasional (HAN) bersama Presiden pada 23 Juli 2018 di Pasuruan, Jawa Timur.
Berdasarkan data KPAI jumlah kasus kekerasan fisik di dunia pendidikan yang paling tinggi, yakni anak korban tawuran sebanyak 23 kasus (14,3%), anak pelaku tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 %), anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 kasus (22,4 %) kasus, anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 kasus (25,5%), dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) 30 kasus (18,7%).
“Tahun 2018 kasus pendidikan menempati posisi ke 4 teratas setelah kasus pornografi dan cyber crime,” ucap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (21/7).
Mas Hanum Dwi Aprilia menjalani perawatan |
Retno mengatakan, terkait tragedi kekerasan terhadap Hanum yang mencoreng dunia pendidikan, KPAI menyampaikan 5 poin.
1. Kasus ini harus diusut tuntas motif dan otak pelaku penghukuman fisik yang berpotensi membahayakan anak. Harus ada penegakan aturan agar ada efek jera bagi siapapun pelaku kekerasan di sekolah.
2. Jika ditemukan unsur kelalaian pihak sekolah dalam kontrol kegiatan ekskul di sekolah, maka Pihak sekolah wajib bertanggungjawab, apalagi peristiwanya terjadi dilingkungan sekolah.
Pihak sekolah seharusnya memiliki kewajiban melindungi peserta didiknya dari berbagai bentuk kekerasan di lingkungan sekolah sebagaimana di atur dalam Pasal 54 Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa “anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
3. KPAI akan meminta Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto untuk memeriksa pihak sekolah dan menegakan aturan jika sekolah terbukti lalai dalam melindungi peserta didik dari kekerasan.
4. KPAI akan melakukan pengawasan lapangan untuk bertemu korban dan keluarganya, mengunjungi sekolah untuk meminta kronologi kejadian dan siapa saja yang terlibat.
Saat pengawasan, KPAI juga berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah Mojekerto terkait rehabilitasi kesehatan korban yang harus melibatkan Dinas Kesehatan Mojokerto dan rehabilitasi pskologis (karena korban mengalami trauma) dengan melibatkan Dinas PPPA dan P2TP2A kabupaten Mojokerto.
“Pembiayaan pengobatan dan pemulihan korban seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui OPD terkait,” imbuhnya.
5. Data masih tingginya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, untuk itu KPAI mendorong percepatan Preraturan Presiden (Perpres) tentang Sekolah Ramah Anak (SRA).
“Saat ini dari 260 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA/sederajat baru 8000 an sekolah yang mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA),” katanya.
Mas Hanum Dwi Aprilia menjalani perawatan |
Prepres SRA akan melibatkan kementerian terkait dalam pelaksanaannya yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kehadiran Perpres SRA diharapkan mampu memutus mata rantai kekerasan di sekolah dan menjamin tumbuh kembang anak berdasarkan pemenuhan hak-hak anak dalam lima kluster Kovensi Hak Anak (KHA).
“Perpres SRA selama dua tahun terakhir mandek pembahasannya. Kasus kekerasan fisik yang dialami ananda Dwi harus dijadikan momentum bersama mempercepat ditandatanganinya Perpres SRA oleh Presiden,” tandas Retno.[psid]