GELORA.CO - Mempunyai dua anak yang kecanduan narkoba membuat hidup Dika Rejonta (70) benar-benar berubah 180 derajat.
Dari seorang pengusaha properti yang punya rumah mewah, belasan hektare tanah di berbagai daerah strategis di Bali, berbagai usaha besar lainnya, hingga kini cuma tinggal di rumah kontrakan.
Semua hartanya ludes akibat ulah dua anaknya yang menjadi pecandu narkoba kelas berat.
Dika Rejonta kaget bukan kepalang sewaktu melihat anaknya tidak ada di rumah pagi itu.
Padahal, semalam pintu dan pagar rumahnya sudah digembok.
Dika kemudian mengetahui anaknya nekat loncat keluar rumah dari kamarnya yang berada di lantai dua.
“Waktu itu pertama kami merasakan ada yang aneh dengan anak saya. Kok bisa dia loncat dari lantai dua ke luar. Pagi-pagi,” tutur pria yang saat ini berusia 70 tahun itu kepada Tribun Bali, Senin (23/7/2018), di Denpasar.
Waktu itu, Dika Rejonta memang terkenal orang yang sangat mapan.
Usaha properti dan bisnis jual beli tanah, serta berbagai usaha lainnya membuat kehidupan keluarga ini bisa dibilang sangat mewah.
Anak pertama Dika, (alm) Donnie Prawira dan anak keduanya Astrid Adriana ke sekolah mengendarai mobil pribadi.
Kala itu perilaku aneh tak hanya ditunjukkan anaknya yang masih SMP, anak sulung Dika, alm Donnie Prawira juga menunjukkan sikap yang aneh kepada dirinya.
Awal mula ia mengetahui karena dirinya sempat dipanggil oleh Kepala Sekolah di tempat anaknya menempa ilmu.
“Tiba-tiba saya dipanggil, katanya anak saya sudah lama tidak sekolah. Padahal waktu itu akan ujian nasional. Nah dari sana saya ajak dia ke sekolah di Singaraja, cuma untuk ujian saja, dan akhirnya anak saya lulus,” tutur Dika.
Waktu itu sekitar tahun 1992, Dika benar-benar tidak menyadari anaknya menggunakan narkoba.
Hingga akhirnya uang yang ia taruh dalam sebuah tas sering berkurang.
Mobil yang dikendaraai anaknya digadaikan.
“Setelah dia lulus dan kuliah, ternyata makin parah. Kami keluarga kemudian panggil satu-satu, akhirnya mereka mengakui mereka pakai narkoba jenis heroin benar-benar kecanduan. Waktu itu kami benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, perasaan kami sangat terpukul dengan punya anak pecandu,” tutur pria yang kini tinggal di kontrakan Jimbaran bersama dengan anak kedua, dan istrinya.
Begitu tahu kedua anaknya menjadi pecandu berat heroin, Dika kemudian memutuskan untuk menghentikan seluruh kesibukannya.
Pun begitu dengan istrinya yang fokus dengan masa depan kedua anaknya.
Mereka akhirnya mulai membawa Donnie Prawira dan Astrid Adriana ke dokter-dokter dengan harapan kedua anaknya bisa sembuh dari kecanduan.
Namun apa daya, karena tingkat kecanduan sudah sangat tinggi, dua anak Dika tak juga lepas dari jeratan narkotika.
Sekitar tahun 1992, Dika kemudian mengajak kedua anaknya untuk menjalani proses rehabilitasi.
Waktu itu, satu-satunya tempat rehabilitasi yang sudah ada yaitu Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba).
Setahun lamanya mereka dirawat di yayasan milik orang Australia tersebut.
Dika kemudian merasakan kedua anaknya sudah mulai membaik.
Untuk menghindari anaknya terjerat kembali ke dunia kelam, Dika kemudian membawa kedua anaknya ke Melbourne untuk kuliah dan sekolah.
“Nah karena saya pikir sudah baikan, biar anak saya tidak terkena pergaulan aneh lagi saya kuliahkan anak pertama saya di Melbourne University. Terus anak kedua juga SMA di sana,” tutur Dika.
Alih-alih kehidupan anaknya membaik, Donnie rupanya sering bermain judi, sehingga kerap menghabiskan duit kiriman orangtuanya.
Akhirnya setelah diketahui, Dika mengajak anak pertamanya pulang ke Bali.
Dengan kondisi kekayaan yang sudah semakin menipis, Dika mencoba memberikan hak untuk anaknya mengelola usaha rent car mobil dan supliyer beras.
Kedua usaha yang dikelola Donnie bangkrut karena setiap modal yang diberikan kerap dibelikan narkoba untuk pesta bersama teman-temannya.
“Mobil-mobil semua habis. Digadaikan. Misalnya waktu harga mobil Rp 40 juta, digadaikan Rp 30 juta. Terus waktu kelola usaha beras, saya suruh beli beras Rp 10 kuintal misalnya, dia belikan cuma 3 kuintal, sisanya dipakai beli obat (narkoba),” tutur Dika.
Suatu saat, Dika mendapatkan kabar bahwa anak keduanya, Astrid yang waktu itu masih sekolah di Melbourne masuk rumah sakit karena over dosis.
Perasaan Dika pun semakin tak karuan, karena masalah bertubi-tubi datang.
Dika kemudian memutuskan menengok anaknya ke Melbourne.
Hingga akhirnya Astrid pun kembali diajak ke Bali.
Downie dan Astrid kembali dibawa ke tempat rehabilitasi narkoba di Yayasan Peduli Keluarga yang dibantu oleh Gubernur Bali kala itu.
Kegiatan di yayasan tersebut telah dilalui, namun yang namanya narkoba ternyata bukan perkara mudah.
Meski telah direhabilitasi, namun Dika kembali merasakan ada yang aneh.
Barang-barangnya di rumah satu persatu ludes, mulai dari tabung gas, televisi, tape, lemari, dan seluruh koleksi lukisannya dijual oleh anak-anaknya untuk membeli narkoba.
Mereka ternyata masih kecanduan berat.
“Yang saya heran, lemari tiga pintu itu bisa dikeluarkan dan dijual ke tetangga,” terang Dika.
Dika kemudian mengajak kedua anaknya ke berbagai yayasan, namun tetap tak mempan untuk menyembuhkan anaknya kala itu.
Dari 1994 sampai 2011, kedua anaknya masih menjadi pemakai narkoba.
Harta kekayaan Dika perlahan mulai habis, Donnie anak pertamanya yang kerap bermain judi dan mentraktir teman-temannya pesta narkoba ternyata banyak memiliki utang di sana sini.
“Waktu itu, terpaksa saya jual rumah saya di Jalan Wijaya Kusuma, Denpasar. Rumah saya besar di sana. Parkirnya saja 5 are, waktu itu karena kepepet saya jual saja seharga Rp 1 miliar. Karena semuanya memang sudah habis untuk biaya sekolah, perawatan, dan rehabilitasi anak saya,” tutur Dika.
Tahun 2011, anak sulungnya tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya meninggal.
Waktu itu, Donnie yang sudah dalam keadaan koma masih bisa meminta obat, namun Dika tidak memberikan.
Setelah Donnie meninggal, dua bulan kemudian giliran anak keduanya yang sakit dan dirawat di rumah sakit selama setahun.
Lepas dari rumah sakit pun Astrid mesti dirawat di rumahnya yang cuma tempat kontrakan karena rumahnya telah dijual.
“Selama sembilan bulan saya rawat di rumah. Oksigen yang besar itu dia pakek sehari dua. Akhirnya ada teman memberi saran, sudahlah, kembali ke vitamin C saja. Akhirnya saya coba berikan buah-buahan, jus, dan lainnya. Waktu itu berat badan anak saya sudah turun drastis, dari 70 ke 30 kg, tapi untungnya Tuhan masih memberikannya kesempatan sampai sekarang,” tutur pria murah senyum ini.
Dika menceritakan bahwa anak pertamanya terjerat narkoba bukanlah karena pergaulan yang kurang baik.
Waktu itu, sekitar tahun 1990-an, Dika bisa dibilang pengusaha yang kaya raya, sehingga menjadi incaran para bandar narkoba.
Akhirnya ada seorang menyusup dengan modus menjadi sopir pribadi ke rumah Dika di Jalan Wijaya Kusuma terdahulu.
“Sopir itulah ternyata awal dari kesengsaraan kami. Dia yang ngasih obat, lama-lama kan kecanduan. Ini sopir pribadi keluarga kami. Kalau anak keduanya sudah setir sendiri-sendiri,” katanya.
Dengan pengalaman pahit yang dialaminya, Dika berharap kepada siapa saja agar tidak sampai menggunakan narkoba.
Kepada para orangtua, Dika berpesan agar memperhatikan betul tingkah polah anaknya, agar tidak sampai terjerat ke dunia kelam itu.
“Saya harapkan, orangtua benar-benar mendidik, menjaga anaknya supaya tidak pernah ketemu dengan narkoba. Kalau perlu mulai dari rokok, minum, kemudian narkoba. Itu efeknya luar biasa, hancur-hancuran, semua habis. Kami sekarang benar-benar hidup dari belas kasihan orang. Karena semua habis punya kami,” pungkas Dika.
Sedangkan Astrid Adriana yang ditemani orangtuanya berpesan agar para orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba untuk benar-benar melakukan pendekatan belas kasih.
“Jangan sampai memarahi, buat dia nyaman bersama kita dulu. Dengan begitu pelan-pelan akan mau direhabilitasi dengan sendirinya. Kalau dikerasi justru semakin menjadi. Karena pecandu itu keadaan yang membuat dia begitu, sebetulnya mereka tidak ingin, mereka hanya korban dari kecanduan,” tutur Astrid.[tribun]