GELORA.CO - Dosen Universitas Bung Karno Gede Sandra menuding tim ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal. Gede menganggap pemerintah gagal mengendalikan situasi perekonomian.
"Tim ekonomi pemerintah telah gagal memperkirakan atau gagal melakukan forecasting situasi ekonomi nasional, yang seharusnya menjadi kompetensi utama mereka," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (29/7/2018).
Dia mengindikasikan kegagalan tersebut lantaran pemerintah pernah menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%, namun hingga kini belum berhasil direalisasikan.
"Nyatanya cuma dapat 5%. Kini bilang ekonomi kita akan baik-baik saja, ternyata toh ada masalah yang cukup fundamental seperti duo defisit yang disampaikan Presiden Jokowi dua hari yang lalu," sebutnya.
Kata dia, Jokowi juga sudah mengakui terdapat masalah fundamental ekonomi Indonesia. Masalah itu adalah defisit transaksi berjalan, dan defisit neraca perdagangan. Itu menyebabkan Indonesia rentan terpengaruh gejolak ekonomi dunia.
"Padahal beberapa saat sebelumnya tim ekonomi pemerintah, yang disuarakan terutama oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, si menteri terbaik di dunia, masih terus menyatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, kondisi fiskal prudent, dan lain lain," jelasnya.
Sebaliknya, Gede mengaku sejak akhir tahun lalu, terus mengingatkan pemerintah tentang kondisi lampu kuning alias setengah merah bagi perekonomian Indonesia. Itu disebabkan defisit seperti neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
"Tim ekonomi pemerintah yang sebelumnya menolak peringatan RR, akhirnya ramai-ramai mengakui bahayanya pelemahan nilai tukar dan tergopoh-gopoh mencari solusi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan," lanjutnya.
Ungkapnya, pemerintah akhirnya meminta para eksportir kelas kakap membawa kembali seluruh devisa hasil ekspor mereka. Selanjutnya pemerintah akan menghentikan impor yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Terakhir membahas pencabutan harga khusus batubara atau DMO (Domestic Market Obligation).
Tolok ukur garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Gede juga tidak relevan pasalnya menjadikan Rp 11 ribu sebagai acuan garis kemiskinan. Dia juga berpendapat penurunan kemiskinan versi BPS berbagai zaman kepresidenan tidak akurat.
Dia merujuk data setelah reformasi, laju penurunan kemiskinan era Habibie 1,1%/tahun. Gus Dur 5,01% dalam 2 tahun, atau 2,5%/tahun. SBY periode pertama 2,5%, atau 0,5%/tahun. SBY periode kedua 3,46%, atau 0,69%/tahun. Sedangkan Jokowi 1,1% dalam 4 tahun, atau 0,28%/tahun.
"Jelas, angka laju penurunan kemiskinan era Jokowi adalah yang terkecil dan Gus Dur (tim ekonomi adalah RR dan Kwik Kian Gie), memiliki angka laju penurunan kemiskinan yang tertinggi versi BPS," tambahnya.
[dtk]