
www.gelora.co – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah memberikan penjelasan mengenai peran oposisi.
Dilansir TribuWow.com, hal itu ia sampaikan melalui akun Twitter @Fahrihamzah yang diunggah pada Sabtu (23/6/2018).
Fahri Hamzah mengatakan apabila oposisi itu niscaya dalam demokrasi.
Ia pun mengungkapkan jika kritik pemerintah agar peran oposisi lebih konret perlu dijawab secara konkret juga.
Fahri kemudian menjelaskan jika oposisi utama dalam sistem demokrasi adalah Trias Politika.
Fahri Hamzah juga menyebutkan jika saat ini, hampir semua partai politik merasa utang budi kepada presiden.
Hal tersebut mengakibatkan DPR menjadi ‘mandul’, di mana setiap kritik pemerintah pasti ditegur.
“Saya mau tulis sedikit soal #PeranOposisi yang oleh pendukung pemerintah di jagat netizen dianggap bermasalah. Pemikiran ini pernah saya tulis dulu.
Tapi bagus saya segarkan kembali.
Saya ingin bikin tenang pendukung pemerintah.
Sebab oposisi itu niscaya dalam demokrasi.
Kritik buzzer pemerintah agar #PeranOposisi lebih konkret perlu dijawab secara filosofis dan juga konkret.
Dan secara filosofis saya sdh pernah jawab tentang sistem terbuka.
Dan perlunya pelembagaan oposisi sebagai cara memperkuat sistem demokrasi kita. Coba kita lihat.
Oposisi utama dalam sistem demokrasi kita adalah #TriasPolitika .
Prinsip saling periksa dalam cabang2 kekuasaan.
Artinya, dalam demokrasi telah dibangun mekanisme saling kontrol #CheckAndBalance .
Sehingga eksekutif-legiskatif-judikatif berjalan seimbang. #PeranOposisi
Pertanyaanya, “apakah pengelola negara khususnya presiden mengerti bahwa sistem ini harus dibangun?
Apakah sadar bahwa mekanisme saling kontrol harus diperkuat?“
Ini pertanyaan bagi kepala negara sebagai penjaga sistem.
Sebab saya melihat presiden di Indonesia sering salah membaca mengatur sistem.
Ada anggapan bahwa semakin banyak parpol masuk kabinet akan bagus bagi pemerintahan.
Ini tesis yang keliru. Juga tidak demokratis.
Dalam presidensialisme seharusnya presiden bebas memilih siapa saja menjadi anggota kabinet.
Karena sebagaimana namanya siatem ini memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk membentuk pemerintahan. #PeranOposisi
Kalau presiden diberi hak prerogatif oleh konstitusi, kenapa ia harus berkompromi dengan parpol?
Sebab siapapun yang dianggap paling kompeten menjadi menteri itulah yang harus dipilih.
Bukan karena dia akan menjamin loyalitas parpol.
Tetapi, memang ada kesalahan memahami definisi sistem presidensialisme.
Sehingga presiden selalu merasa tidak independent dari parpol.
Sedangkan dalam sistem ini, presiden telah di disain untuk tidak mudah jatuh oleh parpol. #PeranOposisi
Akibatnya presiden mengajak sebanyak mungkin parpol dalam kabinet.
Jadilah seperti sekarang ini hampir semua parpol merasa berhutang budi pada presiden.
Akibat lanjutannya adalah mandulnya DPR.
Setiap mau kritik pemerintah ditegur.
Apalagi menyentuh presiden”
Itulah yang menjelaskan kenapa hak2 DPR jarang diapakai, apalagi hak penyelidikan seperti hak angket.
Semuanya karena parpol selalu melarang anggotanya kritis kepada presiden akibat jatah menteri yang didapat.
Sekarang kembali kita bertanya, “apakah pemerintah mau melembagakan #PeranOposisi yang kebih efektif?
Apakah presiden mau mengembalikan DPR sebagai kamar independent pengawas pemerintah? #PeranOposisi
Dari awal pemerintah ini ingin sekali agar semua partai mendekat.
Bahkan beberapa partai mengalami kemelut internal yang tidak selesai bahkan sampai sekarang, semua gara2 keterlibatan pemerintah dalam mencari pendukung.
Sekarang, setelah semua parpol akhirnya menjadi pendukung pemerintah, parpol akhirnya dianggap oleh publik sebagai kakitangan yang loyal sehingga kritik masyarakat tidak tersalurkan.
Publik akhirnya mencari cara sendiri. #PeranOposisi
Ramainya “oposisi liar” kepada pemerintah berkuasa adalah akibat kegagalan melakukan “pelembagaan oposisi” karena sejak awal pemerintah sinis dengan #PeranOposisi lalu mematikannya dengan cara yang salah: stick and carrot,” tulis Fahri Hamzah.
[tn]