www.gelora.co - Hari Raya Idul Fitri 2018 sudah diambang, pasca Lebaran pun bakal menjelang. Sejauh ini, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan.
Ketahanan pangan saja tak cukup, namun harus berfokus pada kemandirian pangan. Mengapa? Data Global Food Security Index menyebutkan saat ini Indonesia berada pada peringkat 69, tertinggal dari Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih melanjutkan rezim impor pangan yang tak berkesudahan. Hal ini menunjukkan kalau pemerintah saat ini masih belum mampu mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, rezim impor pangan berlanjut lantaran produksi dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan. "Sebenarnya tidak ada yang salah dengan impor, tapi pemerintah harus berupaya juga mengurangi, bukan malah terus bertambah seperti sekarang," ujar Enny.
Dibukanya impor beras sebanyak 500.000 ton, tahun ini, lantaran produksi masih kurang. Tak pelak, harga beras pun naik. Kondisi itu berbanding terbalik dengan klaim dari Kementerian Pertanian (Kemtan) yang mengatakan produksi beras mengalami surplus.
Selain impor beras, pemerintah juga membuka keran impor bawang putih sebanyak 450.000 ton pada 2018. Namun, impor bawang putih ini, menyulut polemik, lantaran tidak dapat menekan harga di pasar.
Saat ini, rata-rata harga bawang putih di tingkat konsumen Jakarta mencapai Rp40.721 per kilogram (kg). Jauh lebih tinggi dari harga di level distributor sebesar Rp18.000 per kg.
Demikian pula impor garam. Kemendag mengeluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI) garam industri sebesar 2,37 juta ton hingga kuartal I-2018. Target impor garam pada 2018, sebesar 3,7 juta ton
Memang diperlukan upaya serius dari pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan, termasuk menjelang hari raya ini dimana harga dan permintaan pangan biasanya bakal melonjak.
Terkait isu pangan ini, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, mengungkapkan, para mafia pangan yang mempermainkan harga bawang putih bisa memperoleh keuntungan hingga Rp19 triliun dalam setahun.
Keuntungan tersebut, menurut Amran, diperoleh dari selisih harga yang sangat besar dari produsen ke tangan konsumen. Belum lagi importer beras, garam dan sebagainya. Semuaitu perburuan rente ekonomi.
Amran mengatakan, harga jual bawang putih di Cina Rp5.600 per kg, sedangkan harga bersih masuk Indonesia berkisar Rp8.000 hingga Rp10 ribu per kg. Sementara, harga jual di tingkat konsumen mencapai Rp45 ribu hingga Rp50 ribu per kg. Jadi, keuntungan Rp19 triliun itu, sangat menyakitkan kaum tani dan masyarakat. Inilah kejahatan ekonomi yang di luar batas.
Yang harus dicamkan dan digarisbawahi pemerintah, selama ini terjadi tarik ulur antara penguasa/pengusaha dan masyarakat tani. Kaum tani padi, bawang, garam, tebu dan seterusnya mendesak agar pemerintah memberdayakan dan melindungi serta menolong mereka.
Namun elite penguasa/pengusaha justru memburu rente dari impor pangan untuk kepentingan bercokol mereka yakni meraup duit dan kuasa, dengan mengorbankan aspirasi dan kepentingan kaum tani.
Akibatnya, gara-gara segelintir elite penguasa/pengusaha, maka wajah pemerintah tampak terlalu reaktif dalam mengambil kebijakan impor untuk memenuhi pasokan dalam negeri. Hal tersebut menyebabkan produk pertanian dalam negeri menjadi kurang berdaya saing.
Menurut laporan Indef, pertumbuhan ekspor produk pertanian dalam negeri selama 10 tahun terakhir, hanya mencapai 5,78%. Angka itu jauh tertinggal dibandingkan dengan pertumbuhan impor produk pertanian yang mencapai 45,89% dalam rentang waktu yang sama. Sementara itu, defisit neraca dagang komoditas pertanian pada 2017 mencapai US$ 3,51 miliar.
Alasannya, hambatan non-tariff measures untuk produk pangan dunia sangat tinggi, mencapai 12.390, sementara Indonesia hanya 79, maka banjir impor pangan mengalir sampai pelosok desa.
Di era Nawa Cita Jokowi terbukti, daya saing produk pertanian Indonesia masih tidak mampu menghadapi berbagai kebijakan non-tariff measures yang berlapis, sedangkan impor lebih mudah masuk. Walhasil, ketergantungan impor semakin tinggi, khususnya pada barang kebutuhan pokok, seperti beras, gula, kedelai, bawang putih, dan daging. Sedangkan untuk bahan baku industri, sekitar 60% masih berasal dari pasokan impor.
Betatapun, kebijakan impor pangan dinilai belum efektif untuk menstabilkan harga. Pasalnya, dalam inflasi tahun lalu sebesar 3,61%, gejolak harga pangan masih menjadi salah satu penyebab utama inflasi dengan realisasi sebesar 0,46%.
Enny mengatakan, dari total pengeluaran rumah tangga, konsumsi masyarakat untuk kebutuhan pangan menyumbang sekitar 75%."Kenaikan harga pangan bakal membuat angka kemiskiskinan meningkat," kata Enny
Karenanya, menurut Indef, pemerintah Jokowi selain getol pada infrastruktur juga harus melakukan upaya konkret untuk peningkatan produktivitas dan ketersedian pangan, baik untuk pemenuhan konsumsi masyarakat atau kebutuhan bahan baku industri.
Perbaikan perdagangan antardaerah juga perlu ditingkatkan agar menghindari kenaikan inflasi yang tinggi. Yang jelas fokus pada pemenuhan kemandirian pangan harus diteguhkan, dikonsentrasikan.
Dengan cara demikian bisa dicapai ketahanan pangan, yang selanjutnya bisa bergerak menuju kemandirian pangan. Itu kalau pemerintah serius dan fokus pada pangan, sebab selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Entah mengapa kok begini pak presiden. [inc]