www.gelora.co - Setahun setelah menjabat sebagai kepala BP Ideologi Pancasila (dulu UKP- PIP), Yudi Latif mengundurkan diri. Bukan isu mundur itu benar yang membuat prihatin. Selama setahun berdiri, yang terdengar di publik mengenai badan sepenting itu, yang mengelola ideologi negara, bukan sebuah gagasan atau visi.
Yang nyaring terdengar: para pimpinan berbulan bulan tak terima gaji. Lalu berbalik, gaji beberapa pimpinan lebih besar dibanding gaji presiden yang di atas seratus juta. Presiden Jokowi minta maaf kepada Megawati soal isu gaji.
Publikpun ramai merespons lahirnya BP Ideologi Pancasila. Namun sekali lagi, isu yang ramai itu bukan perdebatan gagasan atau visi soal Pancasila di era global. Bukan bagaimana Pancasila menghadapi sejarah manusia yang tengah berubah. Yang ramai adalah pro dan kontra soal gaji pengelola Pancasila.
Publikpun belum benar-benar mengenal bagaimana tafsir lembaga BP ideologi Pancasila itu terhadap Pancasila. Ada tiga sosok penting di sana: Yudi Latif selaku intelektual yang menjadi kepala eksekutifnya. Tapi ada pula Megawati yang menjadi kepala Pembinanya. Ada pula Jokowi yang menjadi presiden.
Sudahkah ada tafsir Pancasila yang baku yang akan diterapkan? Atau lembaga ini masih dalam taraf merumuskan? Bisa jadi tafsir Yudi Latif atas Pancasila berbeda dengan tafsir Megawati? Yang mana yang akan dipilih Presiden? Bagaimana jika presiden mempunyai pula tafsirnya sendiri?
Di balik mundurnya Yudi Latif, justru isu ini yang lebih penting. Tafsir Pancasila siapa yang akan berkuasa? Pengganti Yudi Latif pastilah segera ketemu. Tapi tafsir Pancasila bagaimana yang akan diterapkan?
Inilah hukum besi dunia gagasan. Ideologi, agama, paham, apapun dunia gagasan yang sudah banyak pengikutnya akan terjadi spektrum pemahaman. Akan terjadi perselisihan tafsir mulai dari yang paling kiri hingga paling kanan.
Jika sebuah kekuasaan akan mengambil paham itu sebagai dasar kebijakannya, tafsir yang mana yang akan ia pakai? Mengapa tafsir itu?
Untuk agama, seperti Islam, misalnya. Walau kitab suci Alquran itu satu, tapi ada tafsir Wahabisme yang konservatif di kanan, dan tafsir Progresive Muslim yang liberal di kiri. Untuk Marxisme, ada tafsir Lenin dan Stalin yang menjadikannya negara komunis di sebelah kanan. Tapi ada pula tafsir Frankfurt School yang menjadikan Marxisme paham humanis di sebelah kiri.
Dalam praktiknya, Pancasilapun sudah punya jejak tafsirnya di era Bung Karno dan Pak Harto. Dua orde ini dalam slogan sama sama menjadikan Pancasila dasar negara. Pancasila memberi arah keseluruhan bangunan dan kelembagaan politik dan ekonomi.
Tapi apa yang terjadi? Di era Bung Karno, in action, Pancasila menjadi dasar dari Orde yang disebut Demokrasi Terpimpin. Di era ini, bahkan Bung Karno pernah diangkat menjadi presiden seumur hidup. Di era ini, bahkan Bung Karno pernah membubarkan DPR.
Kala Bung Karno berkuasa, bangunan itu dipahami oleh elit berkuasa sebagai pengejawantahan Pancasila. Ketika Bung Karno tumbang, lahir elit baru yang memberikan narasi baru. Bung Karno dipahami secara terbaik: Ia menghianati prinsip Pancasila.
Pak Harto berkuasa juga menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di era itu, orde Demokrasi Terpimpin berubah menjadi Demokrasi Pancasila.
Dalam Demokrasi Pancasila, ada dua fungis ABRI: militer punya peran politik. Partai dibatasi hanya tiga saja. Tak semua perwakilan rakyat (MPR) dipilih. Ada pula yang diangkat dalam praktiknya atas persetujuan presiden, yaitu Utusan Golongan.
Di era itu, praktik yang dilakukan pak Harto dipuji sebagai pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekwen. Tapi ketika Suharto dijatuhkan, muncul elit baru dengan narasi baru. Suharto mengalami apa yang dialami Bung Karno: dipuja di eranya sebagai pelaksana Pancasila. Lalu berubah sebagai penghianat Pancasila oleh musuh politiknya.
Bagaimana tafsir Pancasila era Jokowi? Pastilah berbeda dengan tafsir era Bung Karno (Demokrasi Terpimpin), era Pak Harto (Demokrasi Pancasila). Dimana bedanya dan bagaimana yang sebenarnya?
Itu yang publik belum sepenuhnya paham. Ketika muncul lembaga pengelola Pancasila, yang lebih ramai adalah perkara gaji, bukan gagasan. Walau belum ada tafsir resmi keluaran BP ideologi Pancasila yang sekelas Demokrasi Tepimpin dan Demokrasi Pancasila di zamamnya, sudah ada embrio.
Para pelaku dunia usaha, meributkan tumbuhnya etatisme dalam sisi ekonomi. Yaitu praktik dunia usaha era Jokowi yang semakin memperbesar peran pemerintah sendiri.
Itu sangat nampak dalam pembangunan infrastruktur yang massif. Bukan infrastrukturnya yang bermasalah, tapi peran pembangunan infrastruktur yang semakin dikerjakan oleh kontraktor pemerintah sendiri. Yang dominan adalah BUMN/BUMD. Peran swasta dan bisnis masyarakat semakin terpinggirkan.
Inikah embrio konsep ekonomi Pancasila Jokowi, pengejawantahan Nawacitq? Bagaimana dengan sisi politik? Bagaimana sisi budaya?
Mundurnya Yudi Latif justru membuka hal yang lebih penting dibanding soal gaji, dan soal siapa ketua baru. Hal yang lebih besar soal tafsir Pancasila bagaimana yang sebaiknya berkuasa?
Siapapun pengganti Yudi Latif kelak, ia dihantui pertanyaan besar itu? Kembali ribuan mata dan taring di luar sana siap menerkam jika keluar kebijakan baru yang kontroversial.
Oleh: DR Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia.
[rol]