www.gelora.co - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelahiran Banjarnegara, 5 Desember 1973 ini menegaskan, bekas narapidana kasus korupsi haram nyaleg. Wahyu Setiawan menyarankan pihak-pihak yang tak setuju, silakan membawanya ke Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR, wakil rakyat meminta KPU tak melarang eks terpidana kasus korupsi mendaftar sebagai caleg. Selain DPR, pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga memiliki sikap yang sama. Berikut ini penjelasan Komisioner KPU Wahyu Setiawan kepada Rakyat Merdeka:
Mengapa KPU hingga kini masih tetap bersikeras menolak usulan yang membolehkan eks napi korupsi menjadi caleg?
Setelah pulang rapat dengan Komisi II pada Selasa (22/5) sore, malamnya kami langsung rapat pleno. Dari hasil rapat pleno kita adalah, kita tetap pada usulan rapat pleno kita. Yaitu melarang narapidana koruptor untuk menjadi calon anggota legislatif.
Bagaimana kalau nanti terjadi deadlock dalam pembahasan ini?
Ya menurut peraturan perundang-undangan, sekarang ini kan rapat konsultasi tidak mengikat. Artinya jika tidak menemui titik temu, ya kita menghargai dan menghormati sikap masing-masing lembaga.
Lalu, jika ada pihak yang tidak sependapat?
Nah, perkara nanti ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan peraturan KPU, kan ada mekanisme pengujian melalui Mahkamah Agung (MA).
Oh berarti KPU akan terus pasang badan dengan usulan ini?
Ini bukan secara tidak langsung, namun secara langsung KPU akan tetap pada usulan awal yaitu melarang mantan napi korupsi menjadi caleg. Kita memang dalam rapat pleno itu sudah memutuskan akan tetap memperjuangkan norma tersebut dalam aturan KPU.
Terus apa strategi KPU dalam menghadapi pihak yang keukeuh menolak larangan ini?
Ya, tentunya kita akan menjelaskan secara terbuka kepada Komisi II DPR, pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai sikap dan posisi KPU terkait dengah hal tersebut dan disertai dengan argumentasinya. Jadi kami kan tidak asal-asalan mengajukan norma itu, tetapi kan kita juga sudah menjelaskan tentang latar belakang argumentasi dari keputusan yang kita ambil.
Ya, kalau dari DPR kan memang berpandangan, yang berhak mencabut hak politik seseorang kan pengadilan, bukan KPU, begitu. Tetapi perlu juga diketahui secara analogi untuk narapidana paedofilia atau kejahatan terhadap anak-anak, terus untuk narapidana bandar narkoba kan juga tidak melalui keputusan pengadilan, namun pelarangan itu berada di undang-undang, kan seperti itu ya.
Jadi argumentasi DPR itu tidak konsisten, karena itu tidak berlaku pada napi paedofilia dan bandar narkoba. Lah KPU berpikir, kita memperluas tafsir. Jadi tafsir larangan bagi napi paedofilia dan bandar narkoba untuk menjadi calon anggota legislatif itu kita tambah satu lagi, yaitu ditambah dari napi koruptor.
DPR menilai napi koruptor bisa menjadi caleg jika mau mempublikasikan secara luas ke masyarakat mengenai rekam jejaknya sebagai napi kasus korupsi. Tanggapan Anda?
Kalau untuk itu tetap berlaku, tetapi itu berlaku untuk kasus lainnya. Memang maunya Komisi II DPR seperti itu, namun maunya KPU itu berlaku untuk pidana lainnya selain dari kasus paedofilia, bandar narkoba dan napi koruptor. Jadi selain dari tiga kasus itu, ya tetap berjalan seperti itu.
Untuk diketahui, sebelumnya itu kan kita sudah merampungkan PKPU (Peraturan KPU) tentang pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ini kan yang masih alot itu pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebelumnya kan PKPU pencalonan DPD kan sudah rampung. Nah dalam PKPU pencalonan anggota DPD, syarat (napi korupsi dilarang menjadi calon anggota) juga sudah ada, syarat bahwa napi korupsi, napi paedofilia dan bandar narkoba itu sudah ada di PKPU untuk pencalonan DPD. Kan tidak mungkin kalau pencalonan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota berbeda dengan DPD. Jadi kita memang tidak ada pilihan lain, selain melanjutkan dari hasil rapat pleno yang telah kita lakukan. [rmol]