www.gelora.co - Diambil dari status-status akun fb Ruby Kay. Dia menyebut dirinya dulu adalah 'cebong garis keras' pendukung Jokowi-Ahok.
24 April 2018:
Tulisan saya di Seword masih ada hingga saat ini. Kalau kebetulan anda membacanya jangan terkejut ya. Itu tulisan dibuat saat saya masih jadi cebong dongok. Di Portal setan itulah saya merangkai kata memuja penguasa.
Sengaja tak saya hapus, biarkan saja jadi jejak digital perjalanan hidup.
8 Mei 2018:
Jejak digital
(Ruby Kay)
Saya tak akan pernah menghapus tulisan-tulisan saat masih berada di kubu si anu. Biarlah itu menjadi catatan dan perjalanan kehidupan. Bisa saja saya hapus tulisan-tulisan yang dibuat ketika diri belum tersadarkan, namun kalau hal itu dilakukan berarti saya tergolong manusia munafik, karena mencoba untuk menutupi jejak buruk di masa lalu.
Ketika ada pihak yang menuduh saya sebagai pembenci, barisan sakit hati yang tak puas karena jagoannya kalah saat Pilpres 2014, ya tertawa saja menyikapinya. Jelas tuduhan itu salah alamat, karena saya dulu bukan pendukung Prabowo, melainkan maniak Jokowi-Ahok!
Jangan ragukan militansi saya kepada dua orang itu dulunya. Mungkin bisa digolongkan sebagai 'Cebong garis keras', berbagai isu tak sedap yang menyerang dua sosok manusia itu pasti segera saya counter dengan tulisan penuh sanjungan dan puja puji, tak lupa nyinyir dengan pihak lawan.
Lalu kenapa bisa berpindah haluan? Sepele sekali trigger nya, karena diri mulai merasa tak nyaman saat cebong mulai menyerang ritus-ritus peribadatan ummat Islam. Jenggot, celana cingkrang, gamis, hingga cadar tak lepas dari olok-olokan mereka. Disini mulai saya lakukan counter terhadap pemikiran rekan sesama cebongers.
"Ritual agama gue kok jadi lu jelek-jelekkin juga sih?! Apa salahnya wanita berhijab, bercadar, menutup aurat? Saat lu bisa acuh tak acuh dengan hot pants, baju ketat dan tonjolan payudara, sewajibnya lu juga mesti respect dengan wanita yang menutup tubuh karena ingin mengikuti perintah Tuhannya".
Dengan argumentasi sederhana yang saya sampaikan itu, ternyata tidak membuat mereka berhenti menghina Islam yang menjadi keyakinan saya. Sebrengsek-brengseknya seorang muslim, ada titik dimana ia merasa tersinggung, marah, mendidih darahnya saat Qur'an dan Hadits dijadikan bahan olok-olokan.
Saya bukan muslim yang taat, masih jauh diri ini dari cap pria soleh nan berakhlak. Namun ghirah membela Islam memang tak harus menunggu semua peribadatan sempurna dulu. Saat musuh-musuh Islam makin getol menyerang, sedangkan penguasa cuma diam, termangu, nganu-nganu, celakalah diri ini jika cuma bisa melihat dari kejauhan.
Jadilah saya sekarang ini, merangkai tulisan untuk meng-counter opini negatif tentang Islam. Sekaligus menyerang kebijakan penguasa yang faktanya memang tak berhasil mewujudkan janji-janji politiknya dulu.
Fanatik dalam berpolitik boleh-boleh saja. Namun hendaknya sisakan sedikit ruang dalam otak untuk berpikir objektif. Fanatisme memuja ajaran Allah dan Rasul Nya jauh lebih penting dari segala intrik yang ada didunia. Karena sebejat-bejatnya seorang pemabuk, ia tetaplah seorang muslim yang ingin mati dengan menyebut kalimat syahadat. (BZH)
25 Februari 2018:
Everybody's Changing
(Ruby Kay)
Dalam satu masa, pernah jari ini digunakan untuk memuja penguasa setinggi angkasa. Hingga akhirnya tersadarkan, tak pantas isi kepala digunakan untuk merangkai kata demi melanggengkan nafsu berkuasa orang-orang yang memusuhi agama saya.
Mungkin hal serupa juga menimpa Anies Baswedan. Imannya terganggu tatkala ia satu perahu dengan rezim yang keras dengan FPI HTI, namun begitu lunak dengan gay dan lesbi. Tak perlu waktu lama bagi manusia macam kami untuk berpindah ke lain hati.
Kami tak sendiri, ada jutaan rakyat yang tak puas dengan kinerja Jokowi. Impactnya terasa hingga pelosok negeri, membangunkan orang-orang dari mimpi, untuk kemudian beraksi, "kami tak mau dipimpin oleh pak De lagi."
Sesungguhnya kalam ilahi jauh lebih membumi daripada retorika palsu tentang toleransi. Ia menyentuh hati dengan caranya yang indah. Alhamdulillah, saya tak jadi anak kodok lagi.