Terbukti Menghalangi Penyidikan KPK terhadap Setnov, Fredrich Yunadi Dituntut 12 Tahun Penjara

Terbukti Menghalangi Penyidikan KPK terhadap Setnov, Fredrich Yunadi Dituntut 12 Tahun Penjara

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Fredrich Yunadi dituntut hukuman penjara 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, subsidair kurungan 6 bulan penjara. Ia dinilai terbukti menghalangi penyidikan KPK terhadap Setya Novanto.

"Menuntut, agar majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini memutuskan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi masa tahanan dditambah denda sebesar Rp 600 juta," kata jaksa penuntut umum KPK saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/5).

Dalam tuntutan, jaksa menyampaikan tidak ada hal yang meringankan. Sedangkan hal yang memberatkan tuntutan adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Lalu sebagai advokat tidak menjungjung tinggi norma hukum dalam membela kliennya.

Selain itu, penuntut umum menyatakan terdakwa mengaku berpendidikan tinggi tapi perkataan tidak mencerminkan.

Perkara bermula pada saat KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP pada 31 Oktober 2017. Penyidik kemudian menjadwalkan pemeriksaan Setya Novanto pada 15 November 2017. Surat panggilan sudah dilayangkan sejak tanggal 10 November 2017.

Saat itu, Fredrich menawarkan diri untuk membantu mengurus permasalahan hukum yang dihadapi oleh Setya Novanto dan memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari presiden.

Selain itu, Fredrich menyarankan soal uji materil ke Mahkamah Konstitusi terkait UU KPK untuk menghindari pemanggilan. Hal tersebut kemudian disetujui oleh Setya Novanto yang menunjuk Fredrich sebagai kuasa hukumnya sebagaimana surat kuasa tertanggal 13 November 2017.

Kemudian pada tanggal 14 November 2017, Fredrich yang mengatasnamakan kuasa hukum Setya Novanto mengirim surat kepada Direktur Penyidikan KPK. Isi surat tersebut menerangkan bahwa Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan penyidik dengan alasan menunggu putusan judicial review Mahkamah Konstitusi yang telah diajukan.

Padahal terdakwa baru mendaftarkan permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi pada hari itu.

Pada hari pemeriksaan, Setya Novanto mangkir. Sekitar pukul 22.00 WIB di hari yang sama, penyidik mendatangi kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya XIII Nomor 19 Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Ketika itu penyidik tak menemukan sosok Setya Novanto dan hanya bertemu dengan Fredrich. Fredrich pun sempat menanyakan penyidik soal surat tugas, surat perintah penggeledahan, dan surat penangkapan Setya Novanto. Hal tersebut pun bisa ditunjukkan oleh penyidik.

Namun pada saat penyidik menanyakan soal surat kuasa dari Setya Novanto, Fredrich tidak bisa menunjukkannya.

Kemudian Fredrich meminta istri Setnov, Deisti Astriani untuk menandatangani surat kuasa atas nama keluarga Setya Novanto yang baru dengan tulisan tangan Fredrich.

Ketika di RS Medika Permata Hijau Fredrich dinilai masih melakukan upaya menghalangi penyidikan secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya Fredrcih menyuruh perawat untuk mengusir penyidik KPK pada saat mengawasi Setya Novanto.

Fredrich Yunadi didakwa merekayasa Setya Novanto untuk masuk Rumah Sakit Medika Permata Hijau guna menghindarkan dari pemeriksaan KPK. Ia juga disebut menjadi pihak yang menyarankan Setya Novanto untuk mangkir dari panggilan KPK.

Fredrich dibantu dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, untuk memanipulasi kondisi kesehatan dari Setya Novanto agar terhindar dari proses hukum yang menjerat Novanto.

Perbuatan Fredrich itu dinilai terbukti melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. [kumparan]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita