Tanggapi Ajakan Tsamara Tandatangani Petisi, Ferdinand: Saya Usul Laporkan juga Baliho Pak Jokowi

Tanggapi Ajakan Tsamara Tandatangani Petisi, Ferdinand: Saya Usul Laporkan juga Baliho Pak Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co – Kadiv Advokasi dan Hukum DPP partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean mengomentari unggahan Tsamara Amany Alatas di Twitternya.

Diketahui, Senin (21/5/2018) Tsamara telah membuat postingan yang berisi ajakan untuk menandatangani petisi.

Petisi tersebut memuat ajakan untuk mendukung aksi penolakan pemenjaraan Raja Juli Antoni.

“Demi keadilan, jangan penjarakan Raja Juli Antoni! @AntoniRaja
tanda tangani petisi ini,” kicau Tsamara.



Menanggapi hal tersebut, Ferdinand meminta kepada Tsamara untuk turut melaporkan baliho Presiden Jokowi dan Airlangga.

Namun tidak diketahui, siapakah Airlangga yang dimaksud, apakah Ketua DPP Golkar Airlangga Hartarto atau bukan.

“Majanya dek, saya usul laporkan juga Baliho pak Jokowi dan Airlangga, itu jelas iklan. Supaya adil dek..!!

Saya dukung kamu lapirkan itu dek,” kicau Ferdinand.



Diketahui sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta polisi segera memproses laporan yang disampaikan terhadap Sekjen Partai Solidaritas Indonesia ( PSI) Raja Juli Antoni dan Wakil Sekjen PSI Chandra Wiguna sebagai tersangka.

Sebab, undang-undang hanya memberikan waktu 14 hari bagi kepolisian untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana pemilu yang dilaporkan oleh Bawaslu.

“Kepolisian segera menetapkan tersangka untuk selanjutnya masuk dalam proses penuntutan,” kata Abhan, saat membacakan hasil temuan Bawaslu, di kantor Bawaslu, Jakarta, Kamis (17/5/2018).

Adapun laporan yang disampaikan Bawaslu ke polisi adalah terkait iklan yang dipasang PSI di media cetak Jawa Pos pada 23 April 2018.

Bawaslu menilai PSI telah melakukan kampanye dini di luar jadwal yang sudah ditentukan oleh penyelenggara pemilu.

Setelah Bawaslu melakukan penyelidikan, maka Raja Juli Antoni dan Chandra Wiguna adalah dua pengurus PSI yang paling bertanggung jawab atas pemasangan iklan tersebut.

“Bahwa perbuatan Raja Juli Antoni, Sekjen PSI, dan Chandra Wiguna, Wakil Sekjen PSI, yang melakukan kampanye melalui iklan media cetak Jawa Pos edisi 23 April 2018 merupakan perbuatan tindak pidana pemilu yang melanggar ketentuan Pasal 492 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Abhan.

Bawaslu sudah meneruskan dugaan tindak pidana pemilu ini ke kepolisian pada Kamis siang tadi.

Laporan diterima oleh Bareskrim Polri pada Tanggal sekitar Pukul 09.30 WIB, dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/646/V/2018/BARESKRIM.

Abhan mengatakan, bila terbukti bersalah, ada ancaman hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 12 juta.

Sementara itu, Sekjen PSI Raja Juli Antoni merasa dizalimi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Kami merasa proses ini tidak adil, tidak fair. Kami merasa dizalimi,” ujar Sekjen PSI Raja Juli Antoni dalam konferensi pers di Kantor DPP PSI, Jakarta, Kamis (17/5/2018).

PSI menilai, Bawaslu tebang pilih hanya menyasar PSI sebagai partai baru.

Padahal, kata Antoni, ada berbagai laporan ke Bawaslu terkait dugaan pelanggaran start kampanye oleh parpol lain.

Petisi

Di laman Change.org politisi PSI Niluh Djelantik membuat sebuah petisi yang diberi nama “Jangan Penjarakan Raja Juli Antoni”.

Sampai pukul 17.30 WIB, Senin (21/5/2018) petisi tersebut telah ditandatangani 6.453 orang.

Berikut ini keterangan yang ditulis oleh Niluh di laman Change.org.

“Tokoh politik muda Raja Juli Antoni terancam dipenjara.

Ia menjadi korban arogansi Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan dan Anggota Mochamad Afifuddin, yang mengambil manuver berlebihan melaporkan Sekjen PSI dengan tuduhan: berkampanye di luar masa kampanye.

Tuduhan itu melecehkan akal sehat dan mengusik rasa keadilan. 

Materi yang dipersoalkan oleh kedua oknum Bawaslu tersebut terkait polling PSI mengenai kandidat Wakil Presiden dan Susunan Kabinet Jokowi 2019 yang muncul di koran lokal.

Jajak pendapat itu adalah bagian dari upaya PSI mendorong “public discourse” untuk memulai diskusi mengenai siapa yang layak menduduki jabatan publik.

Dalam materi itu, proporsi logo PSI hanya 5 persen dari total luas halaman.

Pencantuman itu untuk memperlihatkan penanggungjawab polling.

Dalam materi, sama sekali tidak ada nama dan foto pengurus PSI, yang ada justru 23 nama elit partai lain yang dimunculkan.

Dari situ saja sudah terlihat bahwa secara proporsi, jajak pendapat itu jauh dari kampanye sebagaimana dituduhkan,

apalagi jika dibanding iklan partai lain yang bahkan mencantumkan logo dan foto ketua umum dan elit partai mereka di media massa cetak dan televisi.

Dengan demikian terang benderang bahwa polling PSI bukan bentuk kampanye,

karena tidak mencantumkan visi, misi, dan program partai, sebagaimana definisi yang diatur dalam Pasal 274 Ayat 1 UU Pemilu.

Jajak pendapat PSI justru bagian dari pelaksanaan Pasal 10 Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menyebutkan bahwa tujuan Partai Politik adalah mendorong partisipasi dan pendidikan politik bagi masyarakat.

Ketidakadilan paling jelas dalam kasus ini adalah:

kenapa hanya PSI? kenapa Saudara Abhan, dan Mochamad Afifuddin tidak melaporkan elit partai lain yang bahkan secara jelas – jika mengacu pada definisi UU Pemilu – justru memasang iklan di media massa dengan logo dan foto ketua umum mereka?

Kenapa hukum hanya tajam kepada Raja Juli Antoni?

Integritas dan kredibilitas Raja Juli Antoni tidak diragukan.

Ia meraih gelar Master Studi Perdamaian di Bradbford University, Inggris.

Ia meraih gelar PhD dalam bidang School of Political Science and International Studies di University of Queensland Australia, dengan disertasi mengenai proses perdamaian di Mindanao dan Ambon.

Raja Juli Antoni dijuluki “Golden Boy” Muhammadiyah, pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhamadiyah dan dianggap murid ideologis Buya Syafi’i Maarif.

Terakhir sebelum terjun ke politik, ia menjabat Direktur Eksekutif Maarif Institute, lembaga yang terdepan menyebarluaskan gagasan perdamaian dan toleransi di tanah air.

Dengan segala catatan itu, memenjarakan politisi masa depan ini artinya sama juga dengan membunuh calon politisi masa depan Indonesia.

Upaya memenjarakan Raja Juli Antoni, bisa jadi adalah bagian dari upaya sistematis untuk membunuh Partai Solidaritas Indonesia.

Sejak awal, sudah terasa ada sebuah kekuatan besar yang mencoba menggagalkan agar PSI tidak bisa maju ke Pemilu 2019.

Kekuatan yang mungkin cemas dengan dua agenda besar PSI: ANTI KORUPSI dan ANTI INTOLERANSI.

Kekuatan besar yang berkepentingan agar situasi politik Indonesia tidak berubah!

Atas nama keadilan dan demi perjuangan untuk Indonesia yang lebih baik, kami menuntut: Jangan Penjarakan Raja Juli Antoni!

Niluh Djelantik
Influencer, Politisi PSI,”.[tn]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita