Tahun Politik, Quo Vadis Kendali Intelijen di Tangan Parpol?

Tahun Politik, Quo Vadis Kendali Intelijen di Tangan Parpol?

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Pradipa Yoedhanegara

Oleh: Pradipa Yoedhanegara*

Masih ingatkah publik beberapa waktu yang lalu beredar luas sebuah isi rekaman suara percakapan telepon antara Menteri BUMN Rini Soemarno dan Dirut PLN Sofyan Basir yang mengundang tanda tanya publik karena diduga isi percakapan tersebut mengenai bagi-bagi fee proyek pada perusahaan listrik milik negara. 

Ada sejumlah pihak yang menduga bocornya percakapan dua pejabat tinggi negara ini adalah karena penyadapan yang dilakukan secara ilegal oleh pihak-pihak tertentu dalam rangka berebut pengaruh di tahun politik antara kelompok dilingkaran istana sendiri, karena tidak mungkin bocornya percakapan tersebut keluar dari hasil penyadapan intelijen swasta ataupun lembaga diluar intelegen negara.

Ini bukanlah hal yang pertama terjadi penyadapan diluar garis komando karena pada medio oktober 2016 mantan Presiden SBY pernah menduga percakapannya dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin telah disadap. Sebabnya, pada persidangan kasus penistaan agama oleh Ahok waktu itu, kuasa hukum Ahok sempat menanyakan apakah Ma’ruf menerima telepon dari SBY pada Oktober, pukul 10.16, perihal pengeluaran fatwa kasus penistaan agama.

Tata cara penyadapan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 31 UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Ayat 1, misalnya, menyampaikan bahwa setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak melakukan intersepsi atau penyadapan merupakan bentuk melawan hukum. Adapun ayat 3-nya menambahkan bahwa penyadapan diperbolehkan apabila dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan institusi lainnya.

Yang jadi pertanyaan saya diatas; dari kedua kasus tersebut diatas saya melihat, “itelijen negara telah melakukan abuse of power”, dengan secara liar melakukan operasi diluar kendali presiden. Hal tersebut terjadi sebagai akibat minimnya pengetahuan kepala negara kita dalam ilmu inteligen dan juga faktor lemahnya kepemimpinan Presiden Jokowi karena sampai hari ini masih dianggap sebagai petugas partai oleh publik, dan kendali negara sebenarnya ada pada ketua umum partai politik bermoncong putih.

Kembali pembahasan intelijen dalam kamus bahasa bahasa Inggris yang berarti: intelligence, adalah informasi yang dihargai atas ketepatan, akurasi, waktu dan relevansinya, bukan detail dan keakuratannya saja, karena intelijen berbeda dengan “data”, yang berupa informasi yang akurat, atau “fakta” yang merupakan informasi yang telah diverifikasi secara faktual.

Intelijen terkadang disebut juga dengan “data aktif” atau “intelijen aktif”, informasi ini biasanya mengenai rencana, keputusan, dan kegiatan suatu pihak, yang penting untuk ditindak-lanjuti atau dianggap berharga dari sudut pandang organisasi pengumpul intelijen. Pada dinas intelijen dan dinas terkait lainnya, intelijen merupakan data aktif, ditambah dengan proses dan hasil dari pengumpulan dan analisis data tersebut, yang terbentuk oleh jaringan yang kohesif disertai analisa yang konfrehensif.

Kata intelijen juga sering digunakan untuk menyebut pelaku pengumpul informasi ini, baik di sebuah dinas intelijen yang bersifat rahasia maupun seorang agen intelijen yang dapat bergerak secara perorangan tanpa garis komando atau di indonesia biasa disebut sebagai agen delta atau charly menurut cerita almarhum Pitut Soeharto semasa hidupnya. Namun kerahasiaan seorang agen sangatlah super rahasia dalam menjalankan suatu operasi menyangkut data dirinya tersebut.

Kembali pada dua kasus penyadapan diatas beredarnya transkrip percakapan Meneg BUMN dan Sofyan Basyir sebagai Dirut PLN serta mantan Presiden SBY dengan K.H. Maruf Amien sepertinya terjadi diluar kordinasi dengan tuan presiden, karena operasi seperti ini sangat ceroboh sebab dapat mengakibatkan intelijen menjadi “arsitek” bagi terciptanya anarkisme atau gerakan radikal. Karena sepertinya hal tersebut di design untuk kegiatan politik terselubung badan intelijen, karena nama kepala BIN belum lama ini disebut-sebut sebagai calon kandidat wapres pendamping Jokowi.

Hasil penyadapan Rini Soemarno dengan Sofyan Basyir yang diunggah ke media sosial menurut saya pribadi apabila ditelisik dengan ilmu intelijen, sangat terasa adanya sebuah upaya ” clandestine operation (conditioning)” yang dilakukan untuk memanfaatkan perkembangan situasi dan kondisi yang berlaku menjelang pilpres 2019 sekaligus mengukur kekuatan pengaruh intelijen ditahun politik 2018 ini.

Intelijen dibawah kendali Jenderal Budi Gunawan selayaknya bukan hanya berurusan bagaimana mengamati partai-partai politik, tetapi juga bagaimana harus memiliki kemampuan untuk menegakkan hak-hak kedaulatan nasional di wilayah lautan dari pelanggaran lalu-lintas ilegal, serta pelanggaran wilayah udara indonesia dari ancaman narkotika, terorisme, ilegal fishing, ilegal maining, dan ancaman bahaya lainnya terkait maraknya tenaga kerja asing ilegal yang masuk melalui perbatasan wilayah teroterial kita.

Diera “digital society”, badan intelijen banyak menghadapi tantangan yang datang dari dalam maupun luar negeri, salah satunya adalah proxy war yang dapat menyebabkan ancaman persatuan nasional. Untuk itu menghadapi era milenial seperti saat ini intelijen negara, wajib meningkatkan resources (sdm) dalam menghadapi intensitas riak yang menjadi tinggi sebagai dampak pesatnya perkembangan tekhnologi ditahun politik, menjelang pemilihan presiden 2019.

Tetapi dilain sisi, polemik yang terjadi pada organisasi intelijen ditahun politik dan memasuki ajang pilpres 2019 terkadang juga dapat memberi manfaat. Seperti dalam peribahasa Inggris yang mengatakan “in the case of adversity, there is always an opportunity”, (ditengah kekacauan selalu terdapat peluang). Peluang tersebut bisa jadi adalah perbaikan dalam reorganisasi intelijen agar semakin hari menjadi semakin baik dan berkwalitas, tidak seperti saat ini yang terkesan badan intelijen merupakan alat atau kepanjangan tangan dari penguasa.

Mengutip statemen Z.A. Maulani organisasi intelligence is knowledge yang secara generik menurut jargon militer dapat diartikan sebagai “intelligence is for knowledge”yaitu bermakna ilmu pengetahuan, dimana sebagai sebuah organisasi intelijen wajib mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi didalamnya untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat dan kedaulatan nkri sebagai sebuah bangsa.

Untuk itu dimasa yang akan datang, sebaiknya organisasi intelijen dipegang oleh orang yang memiliki visi kebangsaan dan memiliki jiwa nasionalisme, yang bukan hanya berorientasi kepada persoalan politik. Apalagi sampai memiliki syahwat berpolitik untuk dapat menjadi penguasa dengan menggunakan kendaraan intelijen negara. Semoga dikemudian hari tidak lagi ada penyalahgunaan kekuasaan dengan dalih apapun yang dilakukan oleh intelijen negara. Sebab organisasi intelijen bukanlah partai politik, apalagi sampai dipimpin oleh pemimpin parpol dan bekerja untuk kepentingan parpol. Karema intelijen bekerja demi kepentingan rakyat banyak dan kedaulatan bangsa.

Sampai hari ini mungkin sudah banyak operasi yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala negara oleh perorangan yang mengatasnamakan badan intelijen. Seperti melakukan kegiatan spionase terhadap warga masyarakat yang notabene mereka bukanlah musuh negara. Melakukan “infiltrasi yang disertai desepsi”, yaitu pembusukan terhadap kegiatan aktivis MCA (muslim cyber army). Mengingat yang mengaku sebagai pimpinan yang katanya MCA berinisial ML sebenarnya adalah mantan anggota pasukan elit Kopaskha yang sengaja di masukan ke dalam jaringan aktivis islam dengan mengaku sebagai MCA dan dari situlah terjadi pola pembusukan terhadap MCA, yang selalu bicara tentang kebenaran dan Fakta, “dengan tujuan melemahkan kekuatan MCA didunia maya” dan membuat empaty publik hilang terhadap MCA.

Elistasi yang dilakukan oleh intelijen saat ini sangatlah lemah dan mudah dibaca, karena masyarakat bisa dengan mudah menebak pola “pola clandestine operation”, seperti yang belum lama ini dilakukan saat acara “car free day” di bundaran HI “bersandi gelang”, yang ingin membenturkan kelompok yang kontra terhadap pemerintah saat ini, agar tercipta satu kondisi dimana negara bisa melakukan tindakan represif terhadap kelompok yang ingin mengganti presiden secara konstitusional. Diera revolusi iptek seharusnya hal-hal seperti diatas tidak lagi dilakukan apalagi atas dasar ingin mempertahankan hasrat dan keinginan berkuasa dengan menggunakan sarana atau perangkat intelelijen, karena rakyat bukanlah musuh dari intelijen.

Sebagai anak bangsa saya ingin berpesan, bahwa intelijen berasal dari rakyat, bekerja untuk kepentingan rakyat dan oleh rakyat pula kinerja intelijen mendapat apresiasi yang tinggi meski memiliki motto berangkat tugas dianggap mati, gagal tugas dicaci maki dan berhasil tugas tidak di puji. Intelijen dimata publik tetap yang paling berharga menjadi pilar penjaga NKRI, untuk itu sudahi saja upaya-upaya pengkotak-kotakkan dengan rakyat atas dasar syahwat politik penguasa apalagi sampai harus digunakan sebagai kepanjangan tangan partai politik penguasa.

Sebagai pesan penutup intelijen akan terus ada meski terjadi pergantian pucuk pimpinan republik ini, untuk itu intelijen harus berani merubah paradigma dengan berani membuka dialog dengan orang ataupun kelompok yang berbeda pemahaman dengan penguasa saat ini, bukan malah ikut serta dalam kegiatan yang dapat membelah khalayak luas, dan berani berdiri sebagai garda terdepan yang memperjuangkan kepentingan publik, dengan tidak lagi menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan rezim petugas partai.

Wauwlahul Muafiq illa Aqwa Mithoriq,
Wassalamualaikum Wr, Wb. [swamedium]

*Penulis adalah Pemerhati masalah bangsa
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita