www.gelora.co - Kasus kriminalisasi Ketua Dewan Pengurus Cabang Serikat Petani Indonesia (DPC SPI) Kabupaten Merangin Ahmad Azhari dengan menggunakan UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) hingga kini masih berlangsung.
Penangkapan Ahmad Azhar saat ini sudah berlanjut ke meja hijau di Pengadilan Negeri Jambi. Sidang pertama telah dilangsungkan pada hari Selasa (22/5). Pada hari Rabu kemarin sidang sudah memasuki tahapan kedua yang dihadiri oleh kuasa hukum dari Tim Advokasi Pembela Hak Asasi Petani yakni saudara Priadi dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dan saudara Halim Nasution dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sumatera Barat.
Sidang kedua ini mengagendakan penyampaian nota keberatan (eksepsi) oleh kuasa hukum dan terdakwa, dimana dalam perkara pidana No. 303/pd.B/LH/2018/PN.JMB atas surat dakwaan jaksa penuntut umum No. Reg. Perkara: PDM-/46/Jmb/04/2018 Ahmad Azhar didakwa dengan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur pasal 82 ayat (1) huruf b dan c, 94 Ayat (1) huruf a dan b UU P3H. Ahmad Azhar diancam hukuman pidana dalam pasal 94 Ayat (1) huruf a dan b UU 18/2013 paling singkat delapan tahun dan paling lama 15 tahun kurungan penjara.
Menanggapi hal ini, Priadi menyampaikan keberatan terkait surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum. Kuasa hukum menilai ada beberapa hal yang perlu ditanggapi secara bersama, mengingat di dalam surat dakwaan tersebut terjadi berbagai kejanggalan dan ketidakjelasan. Salah satunya surat dakwaan pada halaman 1 dimana JPU tidak menjelaskan tindak pidana yang didakwakan atas terdakwa diatur dalam perundangan-undangan apa.
"Pada dasarnya tindakan JPU yang mengeluarkan surat dakwaan kepada Saudara Azhari tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana diatur dalam pasal 143 ayat (2) huruf b dan ayat (3) KUHAP bahwa dakwaan haruslah disusun secara cermat, jelas dan lengkap. Dalam hal ini JPU tidak menjalankan surat dakwaan sesuai prosedur," tegas Priadi di PN Jambi seperti dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Sarwadi selaku Ketua DPW SPI Jambi juga mempertanyakan, mengenai surat dakwaan pada halaman 1 tersebut. JPU menunjukkan keraguan mengenai waktu Ahmad Azhar melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU.
"Tidak jelasnya waktu tindak pidana yang didakwakan oleh JPU, dalam hal ini terdapat dua versi waktu yaitu tanggal 25 Januari 2018 dan 26 Januari 2018 yang sekali lagi menunjukan tidak adanya kejelasan kapan tindak pidana tersebut dilakukan oleh Saudara Azhari. Maka dakwaan JPU dalam hal ini tidak memenuhi syarat materil dan telah batal demi hukum," terangnya.
Selanjutnya, Ketua Umum SPI Henry Saragih menambahkan bahwa JPU telah salah dalam menerapkan hukum, sebab ketentuan mengenai penyelesaian permasalahan penguasaan tanah dalam kawasan hutan adalah dengan menggunakan instrument hukum Peraturan Presiden (Perpres) No. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
"Bahwa berdasarkan Perpres 88/2017 permasalahan diselesaikan dengan perubahan batas kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, skema perhutanan sosial atau melakukan resettlement. Jadi bukan dengan pendekatan instrumen hukum pidana sebagaimana yang diatur UU P3H," tegasnya.
Henry melanjutkan, bahwa eksepsi kuasa hukum adalah permohonan berdasarkan fakta dan kebenaran. Oleh sebab itu SPI dan Tim Advokasi Pembela Hak Asasi Petani memohon kepada majelis yang mulia untuk mengambil putusan yang seadil-adilnya.
"Melihat surat dakwaan yang dibuat oleh JPU, maka kami memohon kepada Majelis Hakim PN Jambi untuk menerima eksepsi dan menyatakan surat dakwaan penunutut umum dinyatakan batal demi hukum. Kemudian juga menyatakan perkara a quo tidak diperiksa lebih lanjut dengan memulihkan harkat martabat dan nama baik saudara Azhari," tutupnya.[rmol]