www.gelora.co - Kementrian Agama merilis daftar mubaligh atau pendakwah yang dapat menjadi rekomendasi bagi masyarakat. Daftar ini sengaja dihadirkan dengan alasan beberapa masjid hingga kelompok pengajian di bawah kelembagaan instansi dan BUMN kerap kali meminta rekomendasi mubaligh dari Kemenag.
Alasan tersebut dikemukakan Menteri Agama Lukman Hakim saat rapat dengan anggota DPR, di Komplek DPR-MPR, Jakarta, Kamis (24/5).
“Karena begitu banyaknya permintaan, kami sudah tidak mampu lagi melayani satu per satu,” kata dia.
Berangkat dari hal tersebut Kemenang lantas merilis 200 mubaligh yang dipilih setelah melalui serangkain “scaner”. Setidaknya ada tiga kriteria yang wajib dimiliki para mubaligh agar mendapatkan rekomendasi, yaitu mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, memiliki reputasi dan pengalaman yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi.
“Kami sudah sampaikan (nama-nama) kepada MUI dan MUI sudah rapat di kantornya dengan mengundang ormas Islam kemudian mendalami nama-nama ini, mengklarifikasi dan mencermati,” kata dia.
Dari 200 nama para mubaligh yang direkomendasikan oleh Kemenag memang terdapat beberapa nama ustad kondang yang tidak ikut masuk seperti Ustad Abdul Somad, Felix Siauw hingga Habib Rizieq Syihab.
Hal tersebutlah yang kemudian membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Bukan cuma tidak masuknya beberapa ulama, lebih dari itu sikap pemerintah ini dianggap bentuk intervensi bahkan justru menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
Terlebih di kemudian hari diketahui terdapat mubaligh yang masuk dalam daftar tersebut telah meninggal dunia. Sebagaimana rilis dari CEO AMI Foundation, Azzam Mujahid Izzulhaq, melalui akun Facebooknya, diketahui Dr. H. Fathurin Zen, M.Si telah wafat sejak September 2017.
“Pertanyaannya, jika dipilih secara alami atas dasar masukan masyarakat. Tapi kok bisa Almarhum yang sudah 9 bulan wafat bisa masuk ke dalam daftar rekomendasi? Siapa yang merekomendasikannya? Jika ada Muballigh yang ternyata sudah wafat, jangan-jangan akankah ada Muballigh yang belum lahir sudah masuk dalam daftar rekomendasi tersebut?,” begitu salah satu kutipan Azzam Mujahid.
Kementrian Agama pun akhirnya mengakui adanya mubaligh yang sudah wafat masuk daftar. “Iya benar. Yang bersangkutan telah wafat,” ujar Kepala Biro Humas Data dan Informasi Kementerian Agama Mastuki, beberapa waktu yang lalu.
Intervensi Pemerintah dalam Ruang Privat
Walau terlihat samar langkah terbaru pemerintah untuk masuk dalam keagamaan ini menambah daftar keinginaan pemerintah masuk dalam ruang-ruang privat masyarakat.
“Negara tidak perlu intervensi terlalu jauh dalam kehidupan beragama warga negara,” ujar Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (LD PBNU) Maman Imanulhaq, beberapa waktu yang lalu.
Menurut dia, kalaupun perlu dibuat daftar mubaligh yang membuat daftar itu bukan Kemenag, tapi ormas-ormas Islam dengan merujuk ke kriteria yang ditetapkan.
“Yang membuat daftar mubaligh itu seharusnya Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Irsyad Islamiyah, Persis dan yang lain,” kata dia.
Senada, anggota DPR RI, Saleh Pataonan Daulay, menilai soal keyakinan dan keagamaan tidaklah harus dicampuri pemerintah. Kementerian agama, sambung dia, haruslah kembali melaksanakan tugas pokoknya sebagai fasilitator pelaksanaan keyakinan dan kepercayaan umat beragama.
Selain itu menurut dia, kementerian agama tidak boleh merubah fungsinya sebagai satu-satunya penafsir dan sumber kebenaran.
“Pelaksanaan agama sudah semestinya dikembalikan kepada masing-masing umat beragama. Ini harus dilakukan secara bebas sesuai dengan ketentuan konstitusi dan aturan perundangan yang berlaku,” kata Saleh yang juga mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah tersebut.
Sedangkan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis, berpendapat rekomendasi Kemenag tersebut tidak bisa mengikat bagi masyarakat. Kalau masyarakat membutuhkan mubaligh, mereka bisa mengundang nama-nama yang dianjurkan tersebut.
“Hemat saya, karena rekomendasinya dari Kemenag RI maka wajib bagi lembaga negara dan pemerintah untuk mengundang salah satu diantara mubaligh terekomendasi pada acara-acara keagamaan,” kata Kiai Cholil beberapa waktu yang lalu.
Ia pun menilai mestinya ada parameter yang jelas dari Kemenag dalam menyusun daftar para mubaligh tersebut. “Perlu ada parameter yang jelas dan transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan mengingat tahun ini tahun politik,” kata dia.
Sementara Peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris berpendapat ketimbang mengeluarkan rekomendasi 200 ulama, lebih baik Kemenag mengeluarkan rambu terkait apa saja yang boleh dan tidak boleh disampaikan oleh para ulama dan ustadz.
Menurut dia adanya rekomendasi tersebut tidak terlalu efektif sebab jumlah ustadz yang ada terlalu banyak. “Jadi sekali lagi yang penting rambunya apa yang boleh apa yang tidak boleh,” kata Syamsuddin.
Pemerintah Jangan Lakukan Politik Belah Bambu
Tujuan pemerintah merilis daftar penceramah yang direkomendasikan menurut Menteri Agama Lukman Hakim yakni agar menjadi petunjuk bagi masyarakat. Hal yang justru dinilai sebagai tindakan blunder dan ngawur.
Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, Pemerintah sebatasnya hanya mempunyai tugas menyiapkan fasilitas seperti rumah serta membuat regulasi yang mengatur hubungan antar dan intra umat beragama.
Dengan merekomendasikan 200 nama tersebut, langkah pemerintah tersebut malah berpotensi menimbulkan ketegangan di masyarakat. Ini tercermin dari sempat adanya penolakan dari sejumlah ormas, saat Ustaz Felix Siauw mengisi kajian Ramadan di Masjid Al Irsyad, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 23 Mei 2018. Meski pada akhirnya ceramah tetap dinikmati ribuan jamaah dengan pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
Hal inilah yang kemudian dinilai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan, sebagai politik pecah belah dari pemerintah kepada masyarakat, khususnya kepada umat islam.
“Itu politik belah bambu, terhadap ulama, terhadap anak negeri, 200 diambil, yang lain dipijak,” ujar dia beberapa waktu yang lalu.
Selain itu yang menjadi kekhawatiran yakni daftar nama tersebut dijadikan rujukan untuk membungkam ulama dan penceramah yang selama ini dinilai kritis terhadap pemerintah.
“Ingat fakta telah membuktikan, saat daftar nama ini tidak ada saja pun, ada kejadian penolakan penceramah, bagaimana nanti kalau sudah ada seperti ini?,” kata dia.
Soal adanya anggapan jika rekomendasi pemerintah tersebut merupakan sensor bagi ulama yang bersebrangan dengan pemerintah pun diungkapkan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon
“Jangan salahkan jika kemudian publik mencurigai rilis daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para penceramah atau ulama yang tak sehaluan dengan pemerintah,” kata Fadli, beberapa waktu yang lalu.
Ia memandang, penceramah yang tidak sejalan dengan pemerintah tidak masuk dalam rekomendasi 200 pencermah.
“Mungkin kalau istilah dulu itu ada ulama plat merah (pendukung pemerintah), ada yang bukan gitu,” tukas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.
Lebih lanjut, Fadli menyatakan seharusnya pemerintah tidak memeruncing konflik. Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat membangun dialog terhadap kelompok-kelompok yang dianggap bersebrangan.
“Kita sekarang ini sedang berdiri di ambang krisis ekonomi. Semua celah yang bisa memicu terjadinya konflik sebaiknya segera kita tutup dan bukannya malah kita eksploitasi,” kata dia.
Sementara itu Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan menilai kebijakan pemerintah ini sangat tidak adil karena hanya mengklasifikasikan mubalig. Padahal ia menyebut ada banyak agama di Indonesia.
“Kenapa mubalig saja. Konteksnya, kan, tokoh-tokoh umat tidak hanya muslim saja,” ujar Taufik di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Sikap tertutup dan sepihak pemerintah in dinilainya memperlihatkan tendensi dan memecah masyarakat.
“Ini blunder sekali. Saya harapkan ini dicabut. Terus terang ini sangat merisaukan,” kata dia. [aktual]