Oleh: Asyari Usman* (menjawab Adian Napitupulu)
Dalam diskusi di Ghara Pena 98, Jakarta Selatan, Senin (21/5/18), tentang 20 tahun Reformasi, anggota DPR RI dari PDIP, Adian Napitupulu, mengatakan dalam pemilu 2019 nanti akan berlangsung “perang” antara mereka yang pro-reformis dan yang pro-Cendana (i.e. Soehartois). Dalam kesimpulan yang sifatnya itu-itu saja dari tahun ke tahun, Adian tampak “kehabisan bahan” dalam memetakan pertarungan yang bakal seru di pemilu (pileg dan pilpres) 2019 nanti.
Adian Napitupulu tidak mampu memikirkan “terori baru” untuk mempertahankan penguasa negeri yang tak efektif. Bolak-balik dia hanya bisa menakut-nakuti rakyat tentang bahaya kemunculan Orde Baru; bahaya para pendukung Soeharto. Termasuk ketika dia memproyeksikan pertarungan antara kubu pro-refromasi dan kubu pro-Suharto dalam pemilu 2019.
Dia menyebut “kekuatan Cendana” yang berusaha bangkit lagi. Saya mau katakan kepada Adian bahwa saya adalah musuh Orde Baru (Orba). Saya tidak pernah bersentuhan dengan siapa pun juga yang dulu menjadi bagian dari Orde Baru. Saya tidak kenal satu pun “orang Cendana”. Saya tidak pernah memakan sepeser pun uang “orang Cendana”.
Apakah Anda bisa mengatakan saya berada di kubu pro-Cendana dengan tulisan ini? Untuk apa saya lakukan itu? Sama sekali tidak ada kemaslahatannya bagi saya.
Kalaulah perjuangan Prabowo Subianto (PS) untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan saat ini Anda sebut sebagai kemunculan kubu “pro-Cendana”, saya khawatir Anda sedang terbelenggu oleh kedengkian. Anda tersungkup oleh teori konspirasi yang sebetulnya sedang berlangsung di koalisi penguasa saat ini. Mau buktinya? Lihat saja keberadaan Partai Golkar di kubu penguasa. Di kubu anda, Tuan Adian. Bukankah Golkar itu alat Orde Baru?
Mengapa Anda tidak mencurigai keberadaan Golkar di koalisi penguasa? Bukankah para politisi Golkar terkenal lihai dan licik? Tidakkah Anda khawatir Golkar akan menjalankan agendanya, yaitu agenda Orde Baru?
Dulu Anda, termasuk seluruh PDIP, ditindas oleh Orba yang juga berarti ditindas oleh Golkar? Sekarang Anda tidak curiga kepada Golkar. Lantas, apa alasan Anda curiga kepada Prabowo? Mengapa Anda, Tuan Adian, berteori bahwa Prabowo akan membangkitkan kembali kubu “pro-Cendana”, tetapi tidak menyebutkan bahwa Golkar akan menghidupkan kembali “hantu” Orde Baru?
Jadi, jelaslah bahwa ketika Anda terus-menerus menggunakan Prabowo sebagai faktor untuk menakut-nakuti publik, berarti Anda juga mengajak orang lain, puluhan juta orang lain, untuk menurunkan intelektualitas mereka. Turun ke tingkat intelektulaitas pendukung para penguasa. Yakni, para penguasa yang tak memiliki kompetensi dalam mengelola negara ini.
Tuan Adian, berpuluh juta orang hari ini bersukarela berjuang dengan cara masing-masing untuk menghadirkan presiden baru secara konstitusional, April tahun depan. Mereka itu paham sekali keotoriteran rezim Orde Baru. Mereka tidak ingin ini terulang lagi. Tetapi, pada saat bersamaan, mereka juga tidak ingin gonjang-ganjing bangsa dan negara saat ini terus berlanjut.
Jadi, mereka bertekad untuk mengganti presiden secara konstitusional melalui sosialisasi #2019GantiPresiden. Dan itu tidak berarti mereka mau menghidupkan kembali Keluarga Cendana.
Puluhan juta publik itu adalah orang-orang yang tidak menghendaki kelanjutan kekuasaan yang destruktif sekarang ini. Kalau pun mereka adalah generasi tua seusia saya, bukan berarti mereka menginginkan Keluarga Cendana atau Orde Baru kembali berkuasa. Yang mereka rasakan adalah bahwa situasi yang ada hari ini tidak lebih baik dari keadaan di masa Orba.
Lihat saja kebebasan berbicara yang di masa Orba sangat terkekang. Hari ini kembali menjelma dengan dalih “hate-speech” (ujaran kebencian) dan penyebaran berita hoax.
Bukankah ini cara-cara yang, tempohari, dipraktikkan oleh Orba yang Anda jadikan momok itu? Tentu saja iya!
Tuan Adian yang terhormat! Puluhan juta orang yang mungkin Anda sebut berpikiran Orba hanya karena mereka tidak mendukung para penguasa yang menggadaikan negara saat ini, adalah kalangan muda kelahiran 1980-an dan ’90-an yang sama sekali tidak bersentuhan dengan Orba. Mereka paham tentang keburukan Orba. Tetapi mereka juga sadar bahaya yang lebih besar lagi yang akan dihadapi bangsa Indonesia kalau pengelolaan kekuasaan seperti sekarang ini, dibiarkan berlanjut. Yaitu, bahaya yang lebih fatal lagi kalau penjajahan ekonomi dan industrial seperti saat ini, dibiarkan berlanjut.
Mereka adalah generasi muda, generasi yang tidak punya kaitan apa-apa dengan Orde Baru, dengan Keluarga Cendana, yang Anda takutkan akan bangkit kembali. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat “disaster waiting to happen” (bencana yang menunggu waktu). Mereka adalah generasi muda yang berpikiran bernas dan merasa harus ikut menyelamatkan Indonesia dari tangan para penguasa yang zalim dan “self-destructive”. Yakni, para penguasa yang sedang melakukan proses perusakan diri sendiri.
Karena itu, pemilu 2019 bukanlah pertarungan antara “pro-Reformasi” lawan “pro-Cendana” seperti yang Anda teorikan, Tuan Adian.
Anda lupa kalau semua orang tahu bahwa pertarungan yang sesungguhnya tahun depan, di pemilu 2019, adalah “perang” multi-dimensional. Pertarungan yang bakal sengit itu adalah antara “kekuatan destruktif” lawan “kekuatan penyelamat”.
Hampir tak tersebutkan dimensi-dimensi kerusakan bangsa dan negara yang berlangsung sekarang ini. Cedera berat yang terjadi di berbagai bidang kehidupan itu, mutlak memerlukan tindakan penyelamatan yang cepat dan kerja keras.
Sebagai contoh, rajut sosial yang mulai teranyam dengan baik, akhir-akhir ini mengalami gangguan serius. Persaudaraan kebangsaan menjadi rusak. Tersobek-sobek. Kelompok pendukung penguasa dan kubu oposisi berhadap-hadapan di media sosial dengan caci-maki yang tak beradab. Itu semua berlangsung di depan mata para penguasa. Dan para pendukung penguasa merasa mereka berada di atas angin.
Semua ini gara-gara inkompetensi. Penguasa yang tidak memiliki kemampuan dalam menumbuhkan rasa persaudaraan. Penguasa yang tidak memahami psikologi sosial untuk menjinakkan perseteruan horizontal.
Contoh lain adalah kehancuran ekonomi. Nilai rupiah terjun bebas ke tingkat yang mencemaskan. Harga-harga terus menyulitkan keseharian rakyat. Pengangguran masih besar, tetapi di lain pihak penguasa membolehkan puluhan ribu TKA kualifikasi rendah bekerja di sini. Hutang luar negeri yang semakin menggunung, pasti akan mengancam pertumbuhan ekonomi dan independensi kedaulatan negara.
Inkompetensi juga menyebabkan korupsi terus merajalela. Peredaran Narkoba tetap tak terkendali.
Jadi, sekali lagi, pemilu 2019 bukanlah pertarungan antara kubu “pro-Reformasi” lawan kubu “pro-Cendana” seperti dikatakan oleh Adian Napitupulu. Melainkan, pertarungan antara “kubu destruktif” vs “kubu penyelamat”. [swa]
*Penulis adalah wartawan senior