www.gelora.co - Penggerudukan menggunakan kekerasan yang dilakukan ratusan massa PDIP ke Radar Bogor dinilai sudah melanggar hukum dan mengancam kebebasan pers.
Massa PDIP geruduk Radar Bogor pada Rabu (30/5). Mereka datang sambil marah-marah, membentak dan memaki karyawan, bahkan mengejar staf serta merusak properti kantor.
Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kader PDIP ini berawal dari keberatan headline Radar Bogor yang berjudul “Ongkang-ongkang kaki dapat Rp 112 Juta”.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Nawawi Bahrudin, tindakan premanisme dan intimidasi yang dilakukan massa PDIP di Radar Bogor merupakan pidana.
Nawawi menambahkan, LBH Pers mengecam tindakan premanisme yang dilakukan oleh kader PDIP yang mengakibatkan pemukulan terhadap staf Radar Bogor, pengrusakan alat-alat kantor dan perbuatan intimidasi lainya.
“Hal tersebut merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikategorikan perbuatan pidana yang sangat mengancam demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Lebih jauh lagi, sikap tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila yang notabene ketua umumnya adalah sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),” ucap Nawawi, melalui keterangan tertulisnya yang diterima redaksi pojoksatu.id, Kamis (31/5).
Nawawi melanjutksn, kekerasan dan pengrusakan kantor Radar Bogor merupakan salah satu tindak pidana kekerasan terhadap orang dan barang secara bersama-sama sebagaimana dalam Pasal 170 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara lima tahun enam bulan atau penganiayaan sebagaimana dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Sedangkan pengrusakan alat-alat kantor merupakan bentuk dari tindak pidana pengrusakan sebagaimana Pasal 406 ayat 1 dengan ancaman pidana penjara dua tahun delapan bulan.
“Ketiga Pasal di atas merupakan delik umum, sehingga pihak kepolisian bisa aktif melakukan proses hukum tanpa harus menunggu adanya pengaduan dari korban,” katanya.
Dikatakan Nawawi, dalam hal keberatan terhadap berita Radar Bogor, seharusnya pihak yang dirugikan dalam hal ini PDIP menggunakan mekanisme hak jawab sebagaimana yang sudah diatur di dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 5.
PDIP sebagai organisasi politik terdidik seharusnya memberikan contoh yang baik dalam menyelesaikan sengketa dengan media, bukan malah menggunakan cara-cara melanggar hukum yang justru mencederai nilai-nilai juang partai atau visi misi PDIP.
Menuut Nawawi, tindakan dari PDIP tersebut juga merupakan sebuah tindak pidana yang tercantum di dalam UU Pers Pasal 18 ayat 1 yang menyebutkan “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan uraian di atas, LBH Pers menuntut:
1. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk segera memerintahkan anggotanya mengusut tuntas peristiwa tindakan menghambat atau menghalangi kegiatan jurnaistik, penggerudukan, penganiayaan dan juga pengrusakan kantor yang dilakukan oleh orang yang mengatasnamakan diri dari PDIP, tanpa harus menunggu pelaporan atau pengaduan dari pihak korban.
2. Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk memberikan sanksi terberat kepada kader yang terbukti melakukan tindakan pelanggaran hukum (Pengahalangan kegiatan jurnalistik, penggerudukan, penganiayaan dan pengrusakan) dalam peristiwa yang telah diuraikan di atas.
3. Ketua Dewan Pers untuk proaktif berkomunikasi dengan pihak kepolisian dalam hal mendesak pengusutan lebih lanjut dari tindakan penggerudukan dan kekerasan terhadap Radar Bogor. Hal ini sesuai dengan mandatnya dalam Pasal 15 UU Pers “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.[psid]