Jokowi Temui Keluarga Korban Pelanggaran HAM, Istri Munir: Cenderung Pencitraan

Jokowi Temui Keluarga Korban Pelanggaran HAM, Istri Munir: Cenderung Pencitraan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Presiden Joko Widodo menemui peserta 'Aksi Kamisan' hari ini. Istri aktivis HAM mendiang Munir, Suciwati mengatakan, kedatangan Presiden Jokowi ke aksi Kamisan bukan sesuatu yang istimewa.

Ia menegaskan, sejak awal digelar hingga saat ini yang sudah mencapai ke-540, aksi Kamisan bukan hanya untuk dikunjungi atau bertemu Presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Istri aktivis HAM almarhum Munir itu mengatakan kedatangan Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan di penghujung bulan Mei 2018 ini, justru menimbulkan pertanyaan. Karena sejak jauh-jauh hari sebelum hari ini, Aksi Kamisan telah berlangsung selama 11 tahun lamanya di depan Istana Negara RI. Telah mengirimkan ratusan surat kepada Presiden, termasuk di era kepemimpinan Jokowi, namun tidak pernah satupun diantaranya mendapatkan respons yang berarti.

"Kami mengkhawatirkan bahwa kedatangan Presiden Jokowi atau pertemuan yang akan dilakukan hari ini hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah gimmick di tengah tahun politik yang sedang berlangsung," kata Suciwati dalam keterangan persnya, Kamis (31/5/2018).

Suciwati menyayangkan jika kunjungan atau pertemuan ini tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen kuat dari Kepala Negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebab menurut dia, hal tersebut justru akan menghina rasa keadilan dan kemanusiaan itu sendiri, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.

Suciwati mengingatkan selama menjabat sebagai Presiden Jokowi memiliki performa sangat lamban dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya memberi respons terhadap masalah-masalah terkait pelanggaran HAM. Padahal agenda penyelesaian pelanggaran HAM sudah tertuang dalam dokumen Nawa Cita Jokowi-JK.

Ia juga menyayangkan Presiden membiarkan Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Dan termasuk Presiden menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir. Bahkan, lanjut dia, dokumen sempat disebutkan tidak diketahui keberadaannya.

Hingga perihal Rekomendasi DPR RI kepada Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban yang masih hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa, semuanya juga tidak dilakukan.

Dalam momentum inilah, Suciwati secara khusus mempertanyakan sejauh mana Presiden memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih menggantung. Seperti upaya mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan pemerintah belum mampu menyelesaiakannya dan akan menyelesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk kasus Penghilangan Paksa (Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Membentuk Tim Pencarian korban. Memulihkan korban dan keluarga, meratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa), dan Memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM.

"Kami juga mendesak agar Presiden segera mengumumkan dokumen laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF-KMM) sebagai mana mandat yang tertuang dalam Keppres 111/2004," katanya.

Menurut Suciwati, ide langkah Presiden Jokowi membentuk sebuah Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu juga merupakan sebuah parameter yang sahih bahwa Presiden Jokowi mempunyai perspektif HAM dan keadilan.

"Alih-alih hanya datang menemui massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, seharusnya Presiden Jokowi lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan tersebut di atas dan melakukan tindakan yang konkret daripada hanya sekadar tindakan populis saja," jelas dia.

Hal-hal di ataslah yang harus menjadi parameter kesungguhan Presiden Jokowi untuk memastikan bahwa kunjungan atau pertemuan yang dilakukannya bagian dari komitmennya sebagai Kepala Negara. Jadi bukan 'tampil' membawa kepentingan politik pragmatis di tengah tahun politik ini. Komitmen Presiden Jokowi ini, diharapkan juga diikuti dengan langkah Presiden Jokowi membersihkan kabinetnya dari para figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM.

Aksi Kamisan ke depan akan tetap berlangsung baik dikunjungi, ditemui ataupun tidak oleh Presiden. Adapun jika hingga akhir masa Pemerintahan Presiden Jokowi ini, tak kunjung ada langkah konkret penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, maka upaya hukum dapat ditempuh oleh korban, keluarga korban dan segenap masyarakat sipil.

Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berniat untuk menemui para korban pelanggaran HAM dan keluarganya yang kerap menjadi peserta "Aksi Kamisan" pada hari ini (31/5). Direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid menginformasikan hal ini pada Rabu (30/5).

"Tadi Pak Presiden meminta ajudan dan Teten mengagendakan (pertemuan)," kata Usman, di Istana Kepresidengan Jakarta, Rabu (30/5/2018).

Presiden Jokowi pada Rabu memanggil sejumlah pakar hukum. Pakar hukum diundang untuk membahas kasus pelanggaran HAM berat bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Jaksa Agung HM Prasetyo serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.

"Presiden merasa selama ini sudah berusaha menerima, tapi keluarga korban, menurut Presiden, tidak pernah mau datang. Saya katakan, kalau benar Presiden mau bertemu dan serius mau bertemu dengan korban Aksi Kamisan, kita agendakan saja. Langsung Presiden menyampaikan, 'kalau begitu besok bagaimana?' Besok kebetulan Kamisan. Oh ya sudah kalau begitu besok kita jadwalkan, saya akan komunikasi dengan keluarga korban," ujar Usman lagi.

Aksi Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 yang dilakukan oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia seperti korban peristiwa 1965, Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, korban Tragedi Wasior-Wamena, dan lainnya.

Aksi tersebut dilakukan di dekat Taman Aspirasi yang menghadap ke Istana Merdeka dengan membawa atribut payung hitam setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB tanpa melakukan orasi dan lebih banyak diam. [tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita