Jokowi Serang SBY Soal Subsidi, Apa Manfaatnya Bagi Rakyat?

Jokowi Serang SBY Soal Subsidi, Apa Manfaatnya Bagi Rakyat?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuat telinga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdengung kencang melalui sentilan kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintahan sebelumnya. Menurut Jokowi, pada pemerintahan SBY dengan menggelontorkan subsidi BBM lebih dari Rp340 triliun, tidak mampu menyeragamkan harga BBM menjadi satu harga di seluruh pelosok negeri. Sebaliknya, di tangannya dia mengklaim mampu menyeragamkan harga BBM menjadi satu harga di penjuru pelosok negeri.

Karenanya pada acara workshop anggota DPRD dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 15 Mei lalu, Jokowi menegaskan bahwa kritik kepadanya atas kebijakan BBM, tidak bernilai objektif dalam menyikapi suatu permasalahan. Dia merasa kebijakannya lebih berhasil dibanding kebijakan presiden ke-6 pendahulunya yang memberikan subsidi begitu besar dan menyempitkan ruang fiskal pada Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN).

“Dulu subsidi sampai Rp340 triliun, kenapa harga BBM tidak bisa sama, ada apa, kenapa tidak ditanyakan! Sekarang subsidi sudah nggak ada untuk BMM (Premium), tapi harganya bisa sama!” kata Jokowi.

Sontak pernyataan itu mendapat respon dari SBY melalui akun twitternya, pasalnya dari beberapa kesempatan lainnya, Jokowi berulang kali terkesan menyudutkan SBY dengan membanding-bandingkan kebijakannya dengan kebijakan pemerintahan Indonesia dibawah kepemimpinan SBY. Adapun dari pembicaraan Jokowi kali ini, setidaknya direspon melalui 5 tweetan berikut ini oleh SBY:

“Saya mengikuti percakapan publik, termasuk di media sosial, menyusul pernyataan Presiden Jokowi yang salahkan kebijakan SBY 5 tahun lalu”

“Pak Jokowi intinya mengkritik dan menyalahkan kebijakan subsidi untuk rakyat dan kebijakan BBM, yang berlalu di era pemerintahan saya”
“Saya minta para mantan menteri dan pejabat pemerintah di era SBY, para kader demokrat dan konsituen saya, tetap sabar”

“Tentu saya bisa jelaskan, tapi tak perlu dan tak baik di mata rakyat. Apa lagi saat ini kita tengah menghadapi masalah keamanan, politik dan ekonomi ”
“Justru kita harus tetap bersatu padu. Juga makin rukun. Jangan malah cekcok dan beri contoh yang tidak baik kepada rakyat, malu kita”

Kicauan SBY tersebut sempat menjadi viral di lini masa dan mendapat tanggapan beragam dari warga net. Lalu, apa sebenarnya esensi dan manfaat bagi publik atas sikap pemerintahan yang saling menyalahkan? Kemudian, apa itu program BBM Satu Harga yang menjadi ‘dagelan dan manuver politik’ menuju 2019?

Muhammad Nasir dari Komisi VII DPR-RI yang diantaranya membidangi sektor energi mengatakan, tidak patut pemerintah menyalahkan satu sama lain. Menurutnya, sebuah negara merupakan keberlanjutan proses pembangunan yang tidak terpisahkan untuk mencapai kemakmuran rakyat, hanya saja setiap rezim menghadapi tantangan yang berbeda dan tentunya strategi yang juga berbeda.

“Sebenarnya tidak perlu menyalahkan pemerintah sebelumnya dan membanding-bandingkan, Pak Jokowi fokus saja melanjutkan proses pembangunan dan memperbaiki yang ada,” kata Nasir.

Benarkah BBM Satu Harga Merupakan Program Pendobrak?

Nasir menjelaskan bahwa sebenarnya BBM Satu Harga bukan merupakan ‘barang baru’, pemerintahan sebelum-sebelumnya telah melaksanakannya dengan baik dan terus melakukan perluasan cakupan kepada daerah-daerah yang belum terjangkau infrastruktur agar biaya distribusi menjadi efisien hingga mencapai keekonomian dalam kesamaan harga. Hanya saja imbuh Nasir, pemerintahan sebelumnya tidak memformalkan hal itu dalam suatu bingkisan program kerja namun secara implementasi, telah relatif banyak daerah yang tadinya termasuk kategori Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) dapat dijangkau oleh pemerintah sebelumnya hingga membuat kesamaan harga BBM di daerah tersebut.

“Dari dulu BBM sudah satu harga, tapi tidak dibakukan dalam bentuk program seperti saat ini. Jadi secara nonformal, dari dulu BBM sudah satu harga. Dari zaman Soeharto BBM sudah satu harga, sayangnya pada tempat 3T memang tidak memungkinkan untuk satu harga karena biaya distribusinya lebih besar untuk menjangkau wilayah 3T. Namun mereka juga terus mendorong melakukan pembangunan hingga wilayah 3T menjadi mudah dijangkau, terbukti capaiannya sudah banyak BBM yang satu harga,” jelas Nasir.

Sebagaimana diketahui, melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 36 Tahun 2016, pemerintah mencanangkan program BBM Satu harga dengan melakukan pembangunan infrastruktur penyalur pada daerah 3T sebanyak 160 titik dalam rentang waktu 2017-2019. Kebijakan ini memberi harapan bagi 160 titik atau daerah yang masuk dalam rencana pemerintah, namun tentu di luar 160 tersebut, masih banyak daerah 3T yang kesulitan mendapatkan BBM kendati dengan harga berkali-kali lipat. Karenanya setelah 160 titik yang dicanangkan pemerintah tersebut, perlu terus di dorong upaya membuka akses daerah 3T agar biaya distribusi makin efisien dan harga BBM makin terjangkau.

Adapun capaian pemerintah pada akhir tahun 2017, telah terbangun 57 titik lembaga penyalur, dimana 54 lembaga penyalur PT pertamina dan 3 penyalur oleh PT AKR Corporindo. Pada tahun ini target realisasi didirikan sebanyak 73 lembaga penyalur terdiri dari 67 lembaga penyalur milik Pertamina dan 6 penyalur milik PT AKR Corporindo, sisanya akan direalisasikan pada 2019.

Adapun BBM yang disalurkan berupa Premium yang merupakan BBM jenis penugasan dengan kadar RON 88 dan BBM tertentu (subsidi) berupa Minyak Solar 48 (Gas Oil) dan Minyak Tanah (Kerosene). Kendati 57 penyalur telah beroperasi pada 2017, namun kiranya tak bisa menutup mata begitu saja atas kendala teknis di lapangan. Terdapat beragam kasus yang menyebabkan distribusi tidak berjalan sesuai harapan. Diantaranya mulai dari distribusi pasokan yang terputus hingga aksi pemborongan pihak tertentu yang menyebabkan BBM kembali langka dan mahal. Untuk itu tambah Nasir, perlu perbaikan secara terus menerus baik dari aspek distribusi dan pengawasan maupun dari pengadaannya.

“Jadi tidak perlu membanding-bandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, Jokowi itu tinggal melanjutkan pengembangan infrastruktur untuk menjangkau wilayah 3T tadi yang ditargetkan hingga tahun 2019 terbangun 160 titik tadi, biar harganya sama. BBM Satu Harga sudah dari dulu, Jadi meskipun Jokowi targetnya 2019 mencapai 160 titik, di luar daripada itu masih banyak yang belum BBM Satu Harga, nah tugas Presiden selanjutnya melakukan pembangunan agar skala BBM satu harga lebih luas lagi,” pungkas Nasir.

Pertamina Babak Belur Akibat BBM Penugasan dan Satu Harga.

Anggota DPR-RI Komisi VII lainnya, Ramson Siagian malah melihat ada kekeliruan kebijakan baik dari pemerintahan SBY sebelumnya maupun pada pemeritahan Jokowi pada saat ini. Dari pemerintahan SBY harus diakui bahwa kebijakan subsidi BBM berlangsung secara terbuka, sehingga banyak terjadi penyalahgunaan dimana subsidi diperuntukkan bagi orang-orang miskin, malah orang-orang kaya turut menikmati dan dengan mudah mendapatkan BBM subsidi. Karenanya hal ini butuh perbaikan sistem subsidi agar lebih tepat sasaran.

Selanjutnya berbeda pada masa Jokowi saat ini, sejak awal menjabat sebagai presiden, Jokowi mencabut subsidi BBM dan mengaturnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 yang mana sejak saat itu BBM terbagi menjadi 3 kategori yakni; BBM Jenis Tertentu (Minyak Tanah dan Solar), BBM Khusus Penugasan (Premium) dan BBM Jenis Umum.

Untuk BBM Jenis Tertentu dan Penugasan harganya di tangan pemerintah, sedangkan untuk BBM Jenis Umum harganya diserahkan pada badan usaha. Oleh karena BBM premium (non subsidi) harganya turut diatur oleh pemerintah sebagai BBM penugasan, keuangan Pertamina mengalami babak-belur. Hal itu lantaran Pemerintah menetapkan harga jual di bawah harga keekonomian korporasi, dalam artian Pertamina menjual BBM dengan harga yang merugi. Pemerintah tak berkenan menyesuaikan penetapan harga kendati harga minyak dunia terus merangkak naik.

Jika dilihat dari neraca sepanjang 2017, Pemerintah menetapkan harga BBM jenis Premium Rp6.450, sedangkah harga semestinya berdasarkan formulasi yang ada dengan perhitungan fluktuasi harga minyak dunia sebagai minyak mentah untuk dijadikan BBM, harga terendah Premium yang mestinya dijual oleh Pertamina sebesar Rp6.900 dan harga tertinggi mencapai Rp7.600 pada April, Mei, Juni. Karenanya pertamina terseok-seok untuk menyediakan suplai program BBM Satu Harga yang merupakan BBM penugasan jenis Premium.

“Inikan soal kebijakan. Sekarang memang ada kebijakan BBM Satu Harga, tetapi di satu sisi Pertamina teriak-teriak bahwa keuangan mereka sangat terganggu sampai Dirut Pertamina di ganti. Ini kan dampak, harusnya ada kebijakan fiskal dari pemerintah yang tidak boleh begitu saja memberikan tugas tetapi tidak diberikan solusi terhadap korporasi Pertamina,” kata Ramson.

Seiring dengan merangkaknya harga minyak dunia di atas USD70 per barel, Ramson memperkirakan keuangan Pertamina akan semakin jebol jika tidak ada kebijakan baru dari pemerintah yang memperhatikan kesehatan Pertamina dan kepentingan energi nasional.

“Jadi tidak perlu membanding-bandingkan dengan pemerintahan zaman SBY, tapi harus melihat kebijakan realistis untuk perkembangan perekonomian. Selain itu, sikap menyalahkan masa lalu, etika politiknya menjadi nggak bagus. Lagipula kinerja Jokowi juga nggak bagus, bermasalah juga. Pemerintahan SBY pertumbuhan ekonominya lebih tinggi daripada periode Jokowi. Kalau kemaren harga minyak USD 40 per barel pertamina sudah terseok seok, lah kalau harga minyak tambah USD 80 gimana. Realistisnya gimana. Jadi kalau dibanding-bandingkan, tidak memberikan kontibusi positif terhadap rakyat, jangan Jokowi merendahkan SBY, kurang bagus secara etika,” kata Ramson.

Pertamina Jadi Bamper Kebijakan Populis

Untuk diingat, Menteri ESDM Ignasius Jonan di berbagai kesempatan mengatakan, bahwa sesuai arahan Presiden Jokowi, untuk BBM jenis premium dan solar tidak akan dilakukan penyesuaian atau tidak akan naik harga hingga 2019. Menurut Jonan, keputusan tersebut merupakan kesepakatan bersama 3 kementrian: ESDM, BUMN dan Keuangan.

“BBM arahan Bapak Presiden juga sesuai kesepakatan BUMN, Kemenkeu dan saya laporkan ke Bapak Presiden BBM Penugasan RON 88 harganya tetap dipertahankan tidak naik,” kata Jonan.

Bisa dipahami bahwa alasan utama pemerintah menolak penyesuaian harga BBM jenis Premium lantaran pemerintah berkepentingan menjaga sabilitas dan citra pemerintah pada tahun politik 2019. Bahkan lebih jauh untuk mengantisipasi’ sabotase’, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 21 Tahun 2018 dalam rangka merebut kontrol harga BBM jenis Umum (Pertalite, Pertamax dll) yang tadinya merupakan kuasa korporasi. Dalam aturan baru itu mengharuskan badan usaha pengelola SPBU meminta izin Kementerian ESDM terlibih dahulu jika menaikan harga BBM Umum/nonsubsidi.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menuturkan, memang dengan tidak ada penyesuaian harga BBM, khususnya jenis Preium akan disambut baik oleh masyarakat, namun jika harga minyak dunia terus melonjak dan harga jual BBM tetap tidak dilakukan penyesuaian, maka sikap pemerintah tersebut akan membuat BUMN merugikan hingga memicu kebangkrutan.

“Sesuai formula harga BBM dalam Perpres No.191/2014, akibat meningkatnya harga minyak dunia dari rata-rata USD 39 per barel pada 2016 menjadi rata-rata USD 51 per barel pada 2017, maka Pertamina harus menanggung kerugian menjual Premium sekitar Rp 24 triliun sepanjang tahun 2017. Pada 2018, naiknya harga minyak menjadi sekitar USD 67, untuk penyaluran Premium bulan Januari- Maret, Pertamina telah merugi sekitar USD 8,7 triliun. Jika harga minyak dunia terus naik, tak heran jika kerugian akan terus membesar,” papar Marwan.

Di sisi lain tambah Marwan, harus juga diingat bahwa rakyat membutuhkan BUMN Pertamina yang terus berkembang agar dapat menjamin penyediaan energi secara berkelanjutan dan ketahanan energi nasional yang terus meningkat. Dengan menjaga kesehatan Pertamina, diharapkan perusahaan plat merah itu segera menyelesaikan pembangunan kilang baru dan merevitalisasi kilang lama guna menghindari ketergantungan yang sangat akut kepada BBM impor dari Singapore.

“Kita yakin faktor pencitraan politik-lah yang menjadi motif di balik kebijakan populis ini. Akibatnya, jelas akan menghambat kemampuan BUMN menyediakan energi secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional yang saat ini sangat rendah,” tegas Marwan.

Kemudian pendapat Marwan tersebut diperkuat oleh Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usaman. Pada satu sisi, Pemerintah membuat keuangan Pertamina menjadi hancur-hancuran akibat beban penugasan terhadap layanan publik / public social obligation (PSO) tanpa perlindungan fiskal, pada sisi lain pemerintah menuntut Pertamina membagun ketahanan energi yang tentu membutuhkan biaya besar.

“Publik heran dengan sikap geleng-geleng kepala Presiden Jokowi pada 2 Mei 2018 acara Exebhition & Convention 42 tahun Indonesian Petroleum Association ( IPA ) di JCC Jakarta. Presiden menuntut ketahanan energi kepada Pertamina, namun disisi lain, ketika harga minyak melambung tinggi , anehnya Pemerintah tetap tidak akan menyesuaikan harga keekonomian Premium sampai dengan tahun 2019. Pemerintah lebih memilih kepentingan elektabilitas Jokowi yang akan bertarung kembali di tahun 2019 sebagai calon presiden, sehingga harga BBM umum yang kalau menurut Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Jokowi juga harus terpaksa diingkari, termasuk dalam hal penyesuaian harga BBM umum yang dulunya merupakan aksi korporasi Pertamina, namun sekarang penentuan harga jualnya harus atas persetujuan Pemerintah,” kata Yusri.

Pemerintah Melanggar UU

Yang pasti Marwan meyakini penugasan kepada BUMN untuk menjual BBM di bawah harga keekonomian telah melanggar UU No.19/2003 tentang BUMN. Pada Pasal 66 UU tersebut mengatur bahwa setiap penugasan pemerintah untuk kemanfaatan umum (PSO) harus tetap mematuhi maksud dan tujuan BUMN.

“Jika penugasan tersebut tidak feasible, maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah ditambah marjin keuntungan. Faktanya pelanggaran peraturan seperti ini telah menjadi temuan BPK pada kasus distribusi LPG 12kg tahun 2011-2012 yang dijual di bawah harga keekonomian dan merugikan Pertamina sekitar Rp 7,73 triliun. Pelanggaran diulang?” sesal Marwan.

Tidak hanya itu tambahnya, dengan memaksa Pertamina menjalankan PSO tanpa kompensasi dan malah menimbulkan kerugian yang berpotensi membangkrutkan, maka Presiden Jokowi telah melanggar janji untuk membesarkan Pertamina mengungguli Petronas. Sementara disisi lain, Jokowi mendapat keuntungan politis berupa populeritas BBM Satu Harga di atas deritanya Pertamina dan ancaman kelumpuhan energi nasional.

“Silahkan lah pemerintah menjalankan agenda politik sesuai keinginan. Tapi lakukan lah hal tersebut dengan fair, legal, bertanggungjawab dan bermoral, sekaligus tidak memanipulasi informasi, menfitnah manejemen yang melindungi perusahaan negara, melanggar aturan, dan mengorbankan kepentingan strategis nasional jangka panjang dalam penyediaan energi yang berkelanjutan dan ketahanan energi yang harusnya terus meningkat,” pungkas dia.[akt]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita