Jawab Foto Kedekatannya dengan Jokowi yang Viral, Fahri Hamzah: Politik Bukan untuk yang Jiwanya ABG

Jawab Foto Kedekatannya dengan Jokowi yang Viral, Fahri Hamzah: Politik Bukan untuk yang Jiwanya ABG

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co – Di media sosial ramai diperbincangkannya sebuah foto yang menggambarkan betapa akrabnya Fahri Hamzah dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal diketahui Fahri Hamzah dikenal sebagai sosok yang sering mengritik Presiden Joko Widodo.

Persepsi tersebut ditambah lantaran Fahri merupakan kader dari partai oposisi bagi pemerintahan.

Meski begitu, terdapat foto yang menggegerkan tatkala Fahri Hamzah dan Jokowi dipertemukan dalam agenda buka puasa di Istana.

Dari tagar #FahriHormatkeJKW, netizen membagikan potret saat Fahri Hamzah melakukan sikap hormat sambil berdiri di hadapan Jokowi.

Berikut fotonya:

f

Tak lama usai foto tersebut beredar, Fahri angkat suara melalui akun fanspage Fahri Hamzah.

Dirinya menuliskan tajuk dengan judul ‘Politik bukan untuk yang jiwanya ABG’

Menurut Fahri, gambar-gambarnya yang viral merupakan sebuah representasi dari kritik itu sehat.

Dirinya juga mencontohkan perilaku ABG (Anak Baru Gede) yang menurutnya salah.

“Mereka mengira bahwa kalau kita saling mengkritik di ruang publik maka kita tidak boleh mesra. Kalau bisa jangan bertemu dan bertegur sapa. Persis ABEGE,” tulisnya.

Selain menuliskan pendapatnya mengenai kritik yang sehat, Fahri juga menuliskan mengenai penjilat dan ABS (Asal Bapak Senang).

Berikut tulisan lengkap Fahri Hamzah:

“POLITIK BUKAN UNTUK YANG JIWANYA ABG

Belakangan ini, ada 2 gambar kami yang viral dan bikin heboh. Pertama gambar di awal puasa saat kami bercengkrama sehabis berbuka di Istana hari ke-2 Ramadhan.

Yang kedua buka puasa ke-12 di rumah ketua DPR RI kemarin. Keduanya adalah momen silaturahim yang biasa.

Gambar ini yang dianggap oleh orang-orang yang tidak paham bahwa KRITIK ITU SEHAT, sebagai gambar yang ganjil.

Mereka mengira bahwa kalau kita saling mengkritik di ruang publik maka kita tidak boleh mesra. Kalau bisa jangan bertemu dan bertegur sapa. Persis ABEGE.

Di sisi lain, bukan karena kita bertemu presiden lalu ruang publik kosong dari kritik. Itu ekstrem yang berbahaya dalam kultur kita.

Kritik dianggap permusuhan tapi pertemuan sering hilangkan sikap kritis. Senang main belakang dan tak mau terus terang.

Kultur ekstrem itu yang melahirkan dua peran ekstrem di sekitar kekuasaan.

Ada peran yang tidak suka kritik lalu ingin membungkamnya dengan segala cara. Wabah ini sedang terjadi.

Lalu ekstrem lainnya adalah penjilat dan ABS (Asal Bapak Senang) padahal Kritik Itu Sehat

Pembungkaman sedang marak, dari sekedar pelarangan (bredel) sampai operasi penangkapan dan kriminalisasi terhadap yang dianggap berbeda dgn rezim.

Ini tidak saja terjadi di media tapi juga terjadi di kampus, tempat mimbar kebebasan akademik seharusnya dijaga.

Para penjilat di sekitar kekuasaan manapun selalu menawarkan jalan pintas pengendalian opini dan kebebasan.

Kalau tidak bisa menyuap dan menyogok atau membeli, maka mereka akan menggunakan kekuasaan untuk membungkam dan bahkan membunuh pengkritik.

Dan bagi pemimpin yang bermental feodal, maka PRILAKU orang di sekitar yang suka menjilat dan ABS akan menjamur.

Karena itulah pemimpin harus waspada dan berjiwa egaliter. Itulah mental para pendiri bangsa Indonesia juga para Nabi dan Rasul.

Kita harus mentradisikan kembali kedewasaan berpolitik. Kita harus kembali kepada falsafah Pancasila.

Pemimpin tidak boleh feodal apalagi Baper. Pemimpin harus mentradisikan kritik dan keterbukaan. Bila perlu pecat anak buah yang suka menjilat dan #AsalBapakSenang

Kritik saya kepada penguasa takkan henti apabila saya melihat secara kasat mata masih ada yang salah.

Dan kebetulan saya ada di kamar sebelah, kamar orang bicara dan berpendapat. Maka, nampak sempurna di mata orang lain pun takkan membuat saya diam.

Tuhan saja membiarkan iblis hidup sampai akhir zaman, kenapa kita sulit menerima kritik dan perbedaan?

Tuhan Maha Sempurna dan Dia pasti Maha Tahu kenapa pembangkang diperlukan.

Itu perlu kita pelajari untuk memperbaiki keadaan. Bukan mengembangkan ketakutan.

Mengelola perbedaan, dan melembagakan kritik serta melindunginya dari rasa takut adalah tugas kita dalam membangun negara demokrasi modern yang beradab.

Tugas ini mulia sekali meski beresiko dalam kultur yang feodal. Kita mesti berani melawan rasa takut.

Bismillah,
Mari tradisikan perbedaan pendapat.
Karena seperti kata Franklin Delano Roosevelt, “Nothing to fear but fear itself”.

Bangsa kita HARUS keluar dari rasa takut akan perbedaan kita dan melampauinya menjadi keberkahan bangsa. Itulah warisan terbaik kita”,tulisnya.


[tn]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita