Curhat Artidjo: Pernah Disuap, Disantet Nyaris Dihabisi "Ninja"

Curhat Artidjo: Pernah Disuap, Disantet Nyaris Dihabisi "Ninja"

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Resmi pensiun dari hakim agung, kemarin pagi, Artidjo Alkostar menggelar acara perpisahan dengan wartawan di media centre Mahkamah Agung. Artidjo curhat banyak hal. Dia sudah kenyang dengan berbagai ancaman. Mulai dari ancaman santet, ditembak hingga nyaris ditikam "ninja".

Ancaman ditikam ninja diterima Artidjo ketika menangani perkara Santa Cruz di Dili, Timtim tahun 1992. Saat itu dia masih menjadi advokat. "Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi Allah melindungi saya," tutur Artidjo yang mengenakan batik biru lengan panjang. "Yang didatangi oleh ninja itu, ninja tahu lah di Timtim itu siapa, itu asisten saya. Keliru. Bukan saya kebal, bukan. Tapi dia keliru. Allah melindungi saya," imbuhnya. 

Sementara, ancaman mau ditembak datang saat Artidjo menangani kasus penembakan misterius di Yogyakarta. Si pengancam mengingatkan Artidjo akan ada penembak misterius yang datang ke tempat tidurnya. Tetapi, ancaman itu diabaikan hakim yang dikenal "algojo" koruptor ini. "Sejak jadi advokat saya sudah kenyang memakan ancaman semacam itu," ucap Artidjo. 

Selain ancaman fisik, Artidjo juga kerap menerima ancaman gaib alias santet. Ancaman ini diterimanya ketika dia sudah menjadi hakim agung. Tetapi, dia tetap santai. Malah, dia meremehkan orang yang hendak menyantetnya. "Dipake foto saya, saya katakan 'wah ini mesti kelas TK ini'," selorohnya. Bahkan, seorang hakim agung koleganya sampai meyakini, Artidjo tidak mempan disantet. "Kalau orang akan menyantet saya itu salah alamat juga," katanya. 

Apa rahasia keberaniannya? Artidjo mengatakan, itu karena dia keturunan Madura. "Darah Madura saya tidak memungkinkan untuk menjadi takut sama orang. Hehehe. Setiap hari saya dulu pegang celurit. Tapi sekarang udah nggak lagi," tutur pria kelahiran Situbondo ini sambil terkekeh. Sejak kecil, Artidjo mengaku sudah menjadi joki karapan sapi. Dia juga kerap berkelahi dan bergulat. Dia juga belajar silat. 

Selain ancaman, sebagai hakim agung, Artidjo juga kerap diiming-imingi suap. Khususnya di awal kariernya sebagai hakim agung. "Suap itu kalau dulu iya, kalau sekarang saya kira nggak lah. Jadi, tahu dirilah," selorohnya. Cara menawarkan suapnya pun beragam. Ada yang langsung datang ke ruang kerjanya dan menawarkan langsung. Ada juga yang mengirimkannya cek. "Pernah saya dikirimin cek, difotokopi. 'Pak Artidjo, nomor rekeningnya berapa, Pak Artidjo?'. Tidak saya baca berapa jumlahnya, pokoknya saya jawab kepada dia, 'Saya terhina dengan surat-surat Anda. Itu jangan diteruskan lagi, itu masalah menjadi lain," tegas Artidjo. 

Karena tahu Artidjo tak mempan disuap, ada yang berusaha menyuap melalui keponakannya di Situbondo. "Dia menyerahkan, 'tolong ini disampaikan kepada Pak Artidjo, ini perkara ini', tidak perlu saya sebut perkaranya. Nggak ada yang berani di sini. Pokoknya diiming-imingilah mau usaha apa di Jakarta. Lalu terakhir dia mengatakan tolong di cek itu berapa,"ungkap Artidjo. 

Tetapi, keponakan Artidjo menolak permintaan si penyuap. Tidak ada keluarganya yang berani mengganggu Artidjo. Sebab, dia sudah mewanti-wanti keluarganya, baik yang di Situbondo maupun di Madura. "Saya bilang, jangan coba-coba mempengaruhi hakim agung," tegasnya. Saking tegasnya, Artidjo mengklaim tidak ada satu pun saudara kandungnya yang pernah menginjakkan kaki di MA. 

Jangankan suap, sekadar penghargaan pun, Artidjo ogah menerima. Salah satunya penghargaan dari almamaternya, Universitas Islam Indonesia (UII). "Saya tolak. Hakim itu harus bebas dari harapan-harapan yang berpotensi mempengaruhi independensi. Penghargaan ini, sebutan ini. Jadi harus bersih," tegasnya lagi. 

Bagi Artidjo, uang suap tidak akan jadi berkah. Koruptor diyakininya akan mati mengenaskan. Karena itu, dia kesal ketika menyaksikan para koruptor yang masih melambaikan tangan dan mengumbar senyum di televisi. "Seharusnya dia prihatin dan minta maaf kepada rakyat Indonesia begitu, seperti tak bersalah. Ini koruptor seperti apa ini, menghina rakyat Indonesia, cengengesan, melambaikan tangan," keluhnya. "Kalau orang disebut aja korupsi di Korea, banyak bunuh diri. di kita nggak, malah tambah cengengesan," tambahnya. 

Selain curhat soal ancaman dan suap, Artidjo juga mengaku menangani 19.708 kasus selama 18 tahun menjadi hakim agung. Kasus yang paling berkesan baginya adalah kasus dugaan korupsi Presiden kedua RI, Soeharto, awal tahun 2000. Saat itu, dia menjadi salah satu hakim anggota yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita. Menangani kasus Soeharto, membuat kasus-kasus lain menjadi tampak kecil. 

"Presiden masalah aja saya adili, apalagi presiden partai. Nggak ada masalah bagi saya, tidak ada kendala apa pun. Jadi selama saya tangani perkara Soeharto, perkara lain kecil aja buat saya," tuturnya. 

Artidjo juga mengungkapkan rencananya setelah pensiun. Dia bakal sering berada di tiga tempat; Situbondo, Yogyakarta dan Sumenep. Di Situbondo, Artidjo akan "ngangon" kambing. Di Yogyakarta akan mengajar S2 di UII. Sementara di Sumenep, tempat orang tuanya, Artidjo akan menjalankan usaha kafe. "Saya akan tinggal di tiga tempat itu," tuturnya.[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita