Budi Gunawan dan Tito Karnavian |
www.gelora.co - Indonesia tengah dilanda rentetan teror dengan pola baru.
Pertama, teror dilakukan dengan membantai secara sadis lima polisi di dalam Rumah Tahanan Mako Brimob di Depok yang disiarkan secara langsung melalui media sosial milik para pelaku pada 8 Mei 2018.
Kedua, penusukan aparat kepolisian di depan Mako Brimob pada 9 Mei 2018. Lanjut aksi teror di tiga gereja di Surabaya dan Polrestabes Surabaya. Ditambah lagi aksi penyerangan Polda Riau beberapa waktu lalu.
"Apakah ini aksi teror murni ataukah ada muatan sosial-politik lainnya? Mengapa kita sebagai bangsa seolah-olah tidak belajar dari peristiwa-peristiwa teror sebelumnya," kata Sekretaris Jenderal Front Gerakan Aktivis Indonesia (Fraksi), A.M Awaluddin Manggantarang melalui siaran pers kepada redaksi, Senin (21/5).
"Sulit rasanya untuk tidak melihat rentetan aksi teror ini berdiri sendiri," sambungnya.
Serangan di Rutan Mako Brimob bisa jadi pemantik dari sebuah rencana teror yang telah dipersiapkan secara matang oleh para pelaku.
"Lalu, apakah serangan ini digerakkan oleh satu tokoh sentral seperti Aman Abdurrahman? Bukankah ia di dalam penjara dan sekarang sedang menjalani persidangan kasus teror di Starbucks Thamrin pada 2016 lalu?" katanya lagi.
Aksi terorisme ini yang jelas menyisakan luka mendalam bagi segenap anak bangsa, sekaligus duka cita atas sejumlah korban baik dari aparat itu sendiri maupun masyarakat sipil tak berdosa.
"Untuk itulah kami dari aktivis Fraksi mendesak Presiden Jokowi untuk mengevalusi kinerja dan bila perlu mencopot pejabat terkait pemberantasan tindak terorisme yang tidak memiliki komitmen dan kerja nyata untuk memberantas aksi teror yang belakangan ini marak terjadi," tegas Awaluddin.
Menurut dia, slogan 'Kerja Kerja Kerja' sudah selayaknya dibuktikan dan dilakukan struktural kabinet Jokowi dan semua jajarannya.
"Jika mereka tidak sanggup menyatakan komitmen dan kesanggupannya untuk menumpas atau menghancurkan terorisme dalam kurun waktu yang ditetapkan, maka presiden atau pemerintah harus mencari dan meminta komitmen dan kesanggupan pejabat baru Kepala BNPT, Kapolri, Kepala BIN (Badan Intelejen Negara), Panglima TNI dan lain-lain," katanya.
Awaluddin menekankan, yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah kerja nyata para pejabat tersebut menyatakan siap memberantas terorisme maka bisa tetap menjabat di posisinya. Bahkan, para pejabat itu harus diberikan fasilitas yang memadai.
"Jujur kami menilai pengangkatan sejumlah pejabat terkait khususnya Kepala BIN beberapa waktu lalu sarat dengan kepentingan politik partai penguasa, dengan adanya dugaan titipan dari partai penguasa atau dengan makna lain bagi bagi kue kekuasaan," terangnya.
Lebih lanjut Awaluddin mengemukakan, dalam catatan Fraksi, Kepala BIN Budi Gunawan belum pernah memimpin lembaga intelijen di institusi kepolisian. Reputasi mantan wakapolri ini cukup banyak membuat pertanyaan.
"Kami sebenarnya beberapa waktu lalu kami mempertanyakan di mana kelebihan Budi Gunawan sehingga pantas menjadi kepala BIN. Apalagi waktu itu, tidak ada penjelasan dari Presiden mengapa sosok Budi yang ditunjuk sebagai pengganti Sutiyoso," tuturnya.
Dengan tidak adanya penjelasan yang pasti dari pihak Istana, menurut dia, justru menandakan bahwa pengangkatan Budi sebagai kepala BIN lebih dilandasi oleh alasan politis dibandingkan alasan kinerja waktu itu.
"Menurut kami masih banyak sosok lain yang jauh lebih kompeten dan bersih dibandingkan Budi Gunawan," tukasnya.[rmol]