Oleh Fahri Hamzah
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ini ada cerita lucu tentang cara pemimpin mengelola percakapan. Saya adalah pimpinan DPR yang mengurusi bidang, salah satunya bidang pendidikan dan agama, tapi malah diantisipasi secara berlebihan.
Kemarin (22 Mei), saya telah dilarang untuk berceramah di Masjid kampus UGM. Rupanya, Rektorat kampus telah ditekan oleh Istana. Lalu pihak Rektorat menekan Takmir masjid sehingga mencoret saya dari daftar. Takmir masjid sudah minta maaf.
Coba Anda bayangkan; nalar apa ini. Kira-kira, kita ini kan sudah ada di zaman Demokrasi yang terbuka. Coba kita mengimajinasikan apa yang ada di kepala orang-orang di Istana itu. Apa yang mereka takutkan dari kata-kata saya, sehingga, di kampus, tempat mimbar akademik dan kebebasan itu dijamin, mereka tidak berani mendengarkan apa yang ingin kita katakan.
Dan yang lebih konyol lagi, apa masih ada guna larangan untuk berbicara di jaman sekarang ini.? Ini saya bicara di sini sedang distreaming, jutaan orang (bisa) menonton. Kalau mau saja, di dalam kampus, di WC bisa saja saya buat video ditonton jutaan orang (kampus).
Tapi Istana, dengan mentalitas jadulnya itu tadi, marah pada saya. Lalu membreidel. Jadi mereka menganggap masih ada gunanya (efektif) breidel dan larangan. Ini adalah fitur-fitur dan cara kampungan.
*Dan kalau memakai logika jaman 2.0 (jaman milenial), breidel sudah tidak ada gunanya lagi. Sosial media melekat dalam diri dan kamar setiap orang. Setiap orang di negeri kita bisa memviralkan diri tentang apa yang ingin dia sampaikan. Dengan caranya sendiri. Tanpa bisa diganggu.*
Tapi (di rejim ini) kok masih ada larangan. Orang menulis status, ditangkap. *Bung Ahmad Dhani* nulis di akun twitter, ditangkap. Saya dengar akunnya diambil alih kepolisian. Followernya 2,7 juta. Akunnya diambil alih dengan paksa.
*Jadi, Reformasi 2.0 ini harus kita lakukan, karena Rezim ini tidak memahami apa yang sedang terjadi. Mereka tidak paham bahwa mesin yang bernama demokrasi ini demikian canggihnya, sehingga peran negara makin lama makin minimalis.*
Kebebasan diantara rakyat itu tumbuh, dinamika dan perubahan semakin cepat, dan apabila negara tidak bisa beradaptasi dan bekerja lebih cepat, maka ia akan tertinggal. Dan itu yang sedang terjadi sekarang ini. Mereka tidak tahu cara mengelola ini semua, sehingga akhirnya mengambil langkah-langkah konyol. Dalam semua bidang.
Ideologi Pancasila yang sudah terbukti lebih dari 70 tahun menjaga Indonesia dan menyatukan kita semua, jangankan dibikin canggih dengan kemampuan artikulatif dari pemimpinnya, untuk mengungkapkan kebanggaan kita pada ideologi bangsa kita ini, malah dia kacaukan ideologi Pancasila itu, dia rusak ideologi bangsa kita dengan semboyan yang macam-macam.
'Saya Pancasila, Saya Indonesia'. Seolah-olah yang lain tidak Pancasila dan tidak Indonesia.
*Demikian juga dalam dunia politik. Kebebasan partai politik untuk berekspresi 'ditangkap' dengan penuh kecemasan oleh penguasa. Sehingga partai-partai itu dipecah. Bahkan ada partai yang nyawanya sekarang itu ada di tangan Menkumham. Adu domba dalam politik begitu luar biasa.*
Presiden kita ini tidak presidensial. Apalagi negarawan. Dia bukan negarawan. Kemampuannya untuk membaca keadaan negara sekarang ini sangat lemah sekali. Kemampuannya untuk menjurubicarai keadaan itu tidak ada. Dia tidak paham Indonesia. Dia tidak paham Sabang - Merauke. Dan mungkin baru pertamakali dia pergi ke Papua, sehingga sekarang bolak-balik ke sana pakai pesawat kepresidenan.
*Dia bukan Angkatan Reformasi. Dia tidak pernah berjuang. Tidak pernah duduk di pinggir jalan. Apalagi pakai ikat kepala dan demonstrasi. Tidak pernah. Kawan kita dari awal hidupnya dagang mebel. Kita jujur ngomong ini.*
Tapi memang, orang kalau jadi Presiden, kelihatan sanggup. Karena jadi Presiden itu ada staf ini itu. Ada ajudan. Ada 12 mobil mengiringi jalan. Ada Paspampres. Pakaian resmi dinas. Ada orang-orang pintar di sekelilingnya yang membuat kebodohan itu jadi pelan-pelan tak kelihatan.
*Semua itulah yang membuat kawan ini seolah-olah bisa menjadi Presiden. Tapi sudahlah. Cukup. Sadarlah bangsa Indonesia. Bahwa kawan kita itu sudah tak sanggup. Tapi kita tak boleh minta dia lempar handuk ditengah. Ada mekanismenya. Nanti di 2019, kawan kita itu dengan sadarlah, bahwa, janganlah di situ (Istana).*
Cari tempat lain. Nanti boleh maju lagi Pilpres kapan-kapan kalau latihan tinjunya sudah agak bagus. Kalau orang diingat mundur baik-baik, orang juga bisa menerima kembali baik-baik. Seperti Mahathir.
*Jadi kalau usul saya, Pak Jokowi istirahat dulu (dari Pilpres di 2019 nanti). Latihan dulu. Ambil kursus kepemimpinan di Amerika kah. Sebulan dua bulan. Kumpul sama aktivis dulu. Ngopi dulu sama kita. Belajar dulu tentang teori pergerakan. Belajar teori pembangunan. Belajar pidato tanpa teks. Sudah semua itu dilakukan dan hal-hal lain yang dibutuhkan, persiapkan diri.*
*Saya katakan. 2019 nanti, generasi baru mestinya yang harus memimpin Indonesia. Yang terlibat dalam demonstrasi. Yang berani menggulingkan rezim. Yang siap dengan situasi sekarang. Jadi, kita harus mulai ngomong jujur. Apalagi puasa. Nanti habis Ramadhan kita mesti lebih jujur lagi tentang kondisi hari ini.*
Karena kekacauan yang terjadi sekarang ini, bubarkan ormas, tuduhan makar kepada yang kritis, penegakan hukum yang tidak berpegang pada azas keadilan dan sebagainya, itu adalah bentuk dari amatirnya Pemimpin kita. Tetangga negara kita itu tertawa melihat betapa amatirnya Pemimpin kita. Sakit perut.
Dalam demokrasi, memang kadang-kadang pemimpin itu kadang dianggap tidak penting. Karena ada transformasi dari figur kepada sistem. Tapi bagi kita para aktivis, mengerti betul bahwa pemimpin kita ini sudah tak sanggup. Tidak ada janji pilpresnya yang diselesaikan. Tidak ada satupun.
Tapi sekarang, di negara kita, tanpa prestasi pun, rakyat diminta tepuk tangan. Padahal masalah tidak selesai. Ketimpangan luar biasa. Saya menulis buku tentang indikator ketimpangan yang nampak nyata. Ini kita punya standar yang miris tentang kesejahteraan bahwa kalau orang makan dengan 5.000 rupiah atau 10.000 rupiah dianggap sejahtera. Padahal ini salah. Sementara orang yang berpendapat berbeda dengan Pemerintah itu dibungkam. Supaya yang nampak itu puja-puji.
Kalau mau diri kita aman di negeri ini, maka lancarkan puja puji saja. Maka diri kita selamat. Akan aman. Selama Anda di pihak Pemerintah, maka apapun yang Anda perbuat, Anda akan aman-aman saja. Kasus *Novel Baswedan* sudah berapa lama tidak ketemu dalangnya. Tapi ini teroris dibongkar sedemikian cepat. Seolah-olah aparat super canggih.
*Kita rakyat ini sudah pintar semua. Jangan dibohong lagi. Sudahlah. Tapi ini isyarat. Kalau ada situasi yang sudah ugal-ugalan seperti sekarang ini, maka kekuasaan itu sebentar lagi tumbang.*
*Insya Allah. Tanggal 17 April tahun depan, 11 bulan lagi mudah-mudahan sudah ada nama orang lain di Istana sana.*
*Mahasiswa dan aktivis gerakan harus memiliki keyakinan akan perubahan ini. Sebab kuncinya adalah keyakinan. Saya akan menyampaikan kisah-kisah. Seperti kisah Nabi Ibrahim as melawan Namrud. Atau kisah Nabi Musa as dengan Fira'un. Atau kisah Ashabul Kahfi.*
Semua kisah para pejuang ini, ada kaitannya dengan keyakinan. Kaitannya dengan Iman. Kaitannya dengan apa yang kita yakini dalam hidup ini. "Mereka (yang lain) berkata, 'Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim" (QS 21:60). Itu inti dari ayat itu.
*Jadi kritis itu adalah sifat dari seorang pemuda. Dan kekritisan itu dibarengi dengan keyakinan yang kuat.* Bagaimana cerita Ibrahim dalam mencari Tuhannya. Itu luar biasa hikmahnya. Kisah Ashabul Kahfi juga demikian (QS. 18: 13-14).
*Jadi ini soal keyakinan. Yang kalau keyakinan kita ini kuat, maka misi perubahan ini akan jalan. Tapi kalau keyakinan kita pas-pasan, maka ini tidak akan jalan.*
Maka tugas kita ini di bulan Ramadhan ini adalah menumbuhkan dan menguatkan keyakinan kita. Bahwa kita semua ingin berjuang untuk kehidupan bangsa yang lebih baik. Kalau seandainya Jokowi bisa lebih baik, tidak bohong, bisa sejahterakan rakyat, berani menemui mahasiswa kalau didemo. Bisa menepati janji kampanye ngapain kita capek-capek berjuang mengganti Presiden.
*Tapi karena dia bohong dan dusta maka kita perlu berjuang untuk menggantinya. Demi kebaikan kita semua. Demi kebaikan umat. Demi kebaikan bangsa dan demi kebaikan di masa depan.*
Semoga Ibadah kita, shaum kita, Ramadhan kita, membuat kita menjadi orang-orang yang kuat jiwanya menghadapi tantangan yang akan datang kepada kita.
Demikian saudara sekalian. Wassalamu'alaikum wr. wb. [tsc]