www.gelora.co - Satu per satu rekayasa yang dilakukan Fredrich Yunadi dan dokter Bimanesh Sutarjo atas peristiwa hilangnya Setya Novanto ketika tengah diburu KPK tersibak. Kongkalikong antara Fredrich dan Bimanesh itu juga berkaitan dengan rekam medis Novanto.
Jaksa KPK membongkar fakta-fakta itu melalui keterangan saksi yang dihadirkan dalam setiap persidangan. Mulai perawat hingga jajaran dokter dari RS Medika Permata Hijau membeberkannya di sidang.
Bahkan salah satu terdakwa, yaitu Bimanesh, turut membongkar adanya skenario. Dalam persidangan Kamis (19/4), Bimanesh buka-bukaan ketika menjadi saksi bagi Fredrich.
Awalnya, dia mengatakan Fredrich memintanya merawat dengan diagnosis berbagai penyakit, seperti hipertensi. Namun tiba-tiba Fredrich mengubah rencananya menjadi 'skenario kecelakaan'.
"Saya sedang tidur, terbangun dering telepon terdakwa, sore pukul 17.50 WIB ditelepon, (Fredrich bilang) 'Dok, skenario kecelakaan,'" ucap Bimanesh dalam persidangan.
Dalam persidangan sebelumnya, rekayasa itu lebih jelas. Salah satunya seperti yang disampaikan Kepala Bidang Pelayanan Medis RS Medika Permata Hijau dr Francia Anggreni. Dia menyebut ada beberapa kejanggalan pada visum yang dibuat Bimanesh untuk Novanto.
"BAP nomor 15, bahwa dr Bimanesh selaku dokter spesialis seharusnya tidak perlu membuatkan administrasi visum, karena yang membuat adalah petugas. Adapun saya pernah membaca visum atas nama Setya Novanto dibuat Bimanesh dan ada kejanggalan," kata hakim saat membacakan BAP Francia dalam persidangan, Kamis (12/4).
Francia--dalam BAP--mengaku mendapatkan salinan asli dari visum itu karena Bimanesh membuat rangkap dua untuk diserahkan ke kepolisian dan arsip. Atas BAP itu, Francia, yang juga hadir dalam persidangan, mengiyakannya.
Hakim melanjutkan membaca BAP tersebut. Beberapa kejanggalan dibongkar, seperti kop surat yang tidak resmi serta pencantuman pangkat 'kombes pol' yang dianggap tidak perlu.
"Kejanggalan itu, Bimanesh menggunakan logo RS Medika Permata dan kop surat tidak resmi serta nomor surat tidak dikenal sebagai surat administrasi. Dan format surat bukan standar Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Stempel bukan RS Medika Permata dan tidak perlu ada stempel yang perlu stempel dokter. Tidak perlu mencantumkan pangkat polisi dan militer, dalam hal ini Bimanesh gunakan pangkat 'kombes pol', itu betul ya?" kata Saifuddin kepada Francia, yang kemudian membenarkannya.
Kemudian, ada pula praktik tipu-tipu Novanto yang disebut sakit tapi dibongkar melalui keterangan Indri Astuti, perawat yang menangani Novanto. Indri menyebut memang ada benjolan pada dahi Novanto, tapi tidak sebesar bakpao seperti yang disampaikan Fredrich. Menurut Indri, benjolan itu hanya sebesar kukunya.
Indri pun sempat kaget ketika akan meninggalkan ruangan karena Novanto berteriak kepadanya agar memasangkan perban di kepalanya. Indri juga terkejut ketika Novanto meminta obat merah padanya, padahal tidak ada darah yang keluar dari luka Novanto.
Selain itu, Indri mengungkapkan tentang infus anak-anak yang dipasangkan ke Novanto. Indri mengaku memasangkan infus anak-anak itu karena tidak menemukan pembuluh darah Novanto.
"Saya mau pasang infus di tangan kanan. Karena pembuluh darah tidak kelihatan, saya mau pasang di pergelangan tangan, sebelumnya saya pasang alat, namun tidak kelihatan (pembuluh darah). Saya coba pukul dengan tiga jari. Saat pukulan kedua, saya terkejut karena tangannya itu (mengangkat), kayaknya marah," kata Indri.
Indri mengaku telah meminta izin kepada Novanto untuk memasang infus, tetapi gerakan-gerakan Novanto membuatnya bingung. Dia kemudian mengambil keputusan untuk memasang jarum infus anak kepada Novanto. Jarum infus untuk anak itu, menurutnya, memang tersedia di dalam kamar.
"Dengan keputusan saya sendiri karena pembuluh darah tidak kelihatan, tapi saat saya sentuh sekali dapat, saya menggunakan yang kuning. Itu jarum untuk anak-anak," ucap Indri.
"Alasan Anda apa pakai itu?" tanya hakim.
"Pertama, saya dikejutkan dengan tangan dia. Saya pikir bapak ini marah. Saya makin nggak berani. Saya membuat tindakan sekali tusuk saya dapat, karena (pembuluhnya) tidak kelihatan, saya pakai perabaan. Saya raba ada, saya tusuk dapat," ujar Indri.
Setya Novanto saat dipindahkan ke RSCM. (Faiq Hidayat/detikcom)
|
Kejanggalan lainnya disebut Indri terjadi ketika keesokan harinya ingin mengecek kondisi Novanto. Saat itu pagi pukul 06.00 WIB, Indri berniat mengecek tensi Novanto.
Namun, saat masuk ke kamar, Indri mendapati Novanto masih tidur sehingga dia memutuskan untuk kembali lagi 5 menit kemudian. Saat akan kembali ke kamar itu, Indri membuka pintu perlahan karena takut Novanto masih tidur. Namun dia malah mendapati Novanto sedang berdiri dan kencing di samping tempat tidur.
"Saya kembali lagi ke situ, saya lihat bapak itu sudah berdiri tegak sedang buang air kecil. Dia berdiri tegak, kencing di urinal," ucap Indri.
"Nggak di toilet?" tanya hakim.
"Nggak. Dia di sisi kiri tempat tidur," jawab Indri.
"Begitu saya masuk, mungkin si bapak ini nggak mendengar karena saya buka pintu memang pelan-pelan karena saya pikir masih tidur dan tidak mau membangunkan. Saya lihat saya langsung bilang, 'Pak, saya bantuin.' Si bapak itu kaget, kayak naik badannya gitu. Setelah itu, dia merebahkan badannya dengan susah payah, padahal sudah bisa berdiri," imbuh Indri.[dtk]