www.gelora.co - Kepolisian Resor Banyumas menetapkan Lukman Septiadi (27), seorang guru tidak tetap di SMK Kesatrian, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, sebagai tersangka kasus kekerasan terhadap anak, Jumat (20/4/2018).
Aksi kekerasan yang diduga dilakukan secara sengaja oleh oknum guru kepada muridnya ini terekam jelas dalam sebuah video dan menjadi viral di media sosial sejak diunggah pertama kali pada Kamis (19/4/2018).
Video singkat berdurasi 15 detik itu merekam adegan sang guru mengelus pipi muridnya dengan tangan kiri beberapa kali di depan ruang kelas.
Alih-alih mencurahkan kasih sayang, sang guru ternyata justru sedang mempersiapkan ancang-ancang untuk mendaratkan tamparan ke pipi muridnya.
Tamparan yang dilayangkan Lukman tampak begitu keras hingga mengakibatkan tubuh muridnya terpelanting ke belakang.
Kapolres Banyumas Ajun Komisaris Besar Bambang Yudhantara Salamun mengatakan, sedikitnya ada sembilan siswa yang menjadi korban kekerasan oleh tersangka.
Dari hasil visum yang dilakukan, beberapa borban mengalami nyeri di bagian rahang, telinga berdengung, memar, lecet, hingga mengeluh pusing berkelanjutan.
“Dua korban (paling parah) sudah dibawa ke rumah sakit, sekarang rawat jalan,” katanya.
Dalam keterangannya, Bambang menyebut, alasan tersangka melakukan tindakan penamparan lantaran para korban terlambat masuk ke ruang kelas saat jam belajar-mengajar berlangsung. Tersangka berdalih, tindakan yang diambil akan memberikan efek jera kepada korban, sekaligus sebagai peringatan bagi siswa yang lain.
“Jadi tersangka sengaja menyuruh siswa yang tidak dihukum untuk merekam aksi penamparan itu. Bahkan sebelumnya, tersangka juga sempat merekam sendiri (aksi penamparan),” jelasnya.
Hingga gelar perkara dilakukan, polisi telah memeriksa 13 saksi, termasuk di antaranya para korban dan tersangka.
Selain itu, pihaknya juga telah mengamankan satu telepon pintar milik siswa yang diduga sebagai perekam video itu.
Untuk sementara, Bambang akan menjerat tersangka dengan Pasal 80 Ayat 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman tiga tahun enam bulan penjara.
“Kami masih melakukan pengembangan dan analisa terkait adanya pasal berlapis yang dilanggar,” jelasnya.
Tidak dibenarkan
Tindakan represif yang dilakukan oknum guru tidak tetap di SMK Kesatrian Purwokerto, Lukman Septiadi kepada 9 siswanya menjadi noktah hitam dalam catatan perjalanan dunia pendidikan.
Tersangka mengaku melakukan aksi penamparan dengan pikiran sadar.
Bahkan, baru-baru ini didapat fakta jika sang guru senidiri yang justru memerintahkan siswanya untuk merekam setiap adegan dalam video berdurasi 15 detik itu.
“Ini kejadian pertama, awalnya tersangka tetap kukuh dengan prinsipnya, tapi akhirnya dia mengakui kesalahannya dan menyesal,” kata Kapolres Banyumas, Ajun Komisaris Besar Bambang Yudhantara Salamun.
Terkait dengan video kedua, dimana para korban mengaku ikhlas dan menerima tindakan yang ditempuh sang guru, menurut Bambang, tidak akan menghapus unsur pidana di dalamnya.
“Bagaimanapun juga, apapun alasannya, kekerasan dalam dunia pendidikan tetap tidak dapat dibenarkan,” ujarnya.
Pendamping korban dari Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Banyumas, Tri Wuryaningsih mengatakan, banyak pendekatan yang seharusnya dapat ditempuh oknum guru selain kontak fisik.
“Memang para korban dinilai telah nakal dan bandel, tapi hal ini tidak lantas menjadi alasan bagi guru untuk melakukan kekerasan. Sebaliknya guru harusnya melakukan pendekatan persuasif. Saya yakin jika siswa nakal ini disentuh hatinya pasti akan luluh dengan sendirinya,” jelasnya.
Sepanjang pengamatannya, Tri menangkap, aksi penamparan yang dilakukan Lukman kepada sembilan muridnya ini merupakan buah dari pengalaman masa kecil sang guru.
Dalam video kedua yang diunggah, sang guru menilai, satu-satunya cara agar muridnya dapat mengerti kesalahannya sendiri adalah dengan memberikan rasa sakit.
“Cara itu didapat oleh tersangka atas dasar pengalaman masa lalu. Ini adalah bukti betapa pengalaman akan kekerasan itu akan berbekas dan jelas menimbulkan efek berantai,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Tri, yang paling dikhawatirkan adalah kondisi psikis para korban.
Berkaca dari kasus yang selama ini ditangani, besar potensi para korban kekerasan di usia muda ini justru kelak menjadi pelaku kekerasan saat dewasa nanti. “Lihat saja dari kasus ini (guru tampar murid), tersangka melakukan kekerasan lantaran pernah diperlakukan serupa saat kecil dulu,” jelasnya.
Untuk itu, Tri telah berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi potensi itu terjadi kepada para korban, khususnya yang terlibat langsung dalam aksi penamparan di SMK Kesatrian tempo hari.
Jangan sampai trauma dan gejolak psikis yang dialami sang murid diperparah dengan intimidasi yang mungkin datang dari teman-temannya atau bahkan guru lan di sekolah.
“Peran serta orang tua juga mutlak diperlukan, sistem kontroling yang baik harusnya dapat mencegah anak berperilaku tidak terpuji di sekolah. Orang tua harus dapat mengidentifkasi permasalahan anak, apa karena faktor guru, mata pelajaran, atau ada masalah di pergaulan teman sebaya, bahkan mungkin di lingkungan keluarganya sendiri,” pungkasnya.[tn]